Bainal Kafi wan Nun - part 2

Aku berjalan sendirian keluar melewati gapura pertama dari komplek makam setelah beberapa saat mencari-cari bakiak bajul­-ku yang berhamburan dari tempat dimana benda tersebut kuletakkan. Kupepetkan badan ke tembok komplek makam dengan harapan aku lebih lancar keluar dari arus keluar-masuk peziarah di komplek tersebut.

Dalam kondisi seperti itu butuh kekhusyu’an ekstra demi menyelamatkan derajat keimanan kita dari nafsu hayawaniyah yang sangat berpotensi datang dan menggoda. Dalam himpitan dan desakan, jika dilakukan oleh sesame lelaki, baik tua atau muda, atau ibu-ibu yang terkadang seenaknya mendesak dan menginjak kaki tetangganya, maka akan muncul rasa kemarahan darinya. Akan berbeda “rasa” himpitan dan desakan jika pelakunya adalah seorang gadis terhadap remaja, atau sebaliknya. Muncul “aroma lain” dari desakan itu. Kupikir hal itu sangatlah manusiawi. Tapi karena itulah baju keikhlasan kepada, karena, dan dalam Tuhan menjadi kurang pantas lagi karena menyandang sorban kenistaan.

Kulihat jam di dinding masjid menunjukkan pukul 00.15 WIB dini hari. Kupercepat langkah untuk cepat sampai di warung kopi tujuanku, walaupun juga agak sia-sia karena tertahan oleh barisan manusia. Akhirnya aku sampai juga di tempat itu. Telah banyak orang yang tengah asyik dengan minuman, rokok, obrolan, dan makanan kecilnya masing-masing. Kutebarkan pandangan ke lokasi tersebut dengan harapan kutemukan sosok Po dan Gemboek yang telah menyelesaikan wiridannya terlebih dulu. Tapi tubuh mereka tidak kutemukan di antara orang-orang yang duduk di tempat itu.

“Mungkinkah mereka ngopi di tempat lain?” gumamku dalam hati.

“Ah tidak, kita sudah terbiasa ngopi di sini.” Kujawab sendiri pertanyaanku.

“Ataukah mungkin mereka sedang berjalan-jalan melihat-lihat dagangan penjual di sepanjang pintu masuk tadi?” aku bertanya lagi pada hatiku.

“Mungkin saja, tapi kalau aku jadi mereka, aku tentu enggan karena ramainya peziarah,” kujawab lagi pertanyaan itu.

“Atau mungkinkaaahhh…. Aaahh biarlah,” aku mencoba ambil keputusan.

“Dimanapun mereka pasti nanti kesini, wong Gud Udin dan Hagaing masih di dalam dan akan kesini. Kutunggu saja sambil ngopi.” Akhirnya aku memastikan keputusanku.

“Kopi, Buk, tapi agak pahit,” pintaku pada ibu penjual kopi.

Enggih lek, tung?”(Iya dik, satu saja?) dia ganti bertanya. Aku mengangguk saja. Dari jawaban yang keluar dari mulutnya, kupastikan ibu tersebut berasal dari Pulau Garam, Madura.

Kubeli lembaran koran seharga seribu dari anak-anak kecil yang berjualan kertas koran dan kresek di sekitar lokasi masjid tersebut. Kupilih tempat yang agak longgar di antara pengunjung warung kopi. 

Kugelar lembaran koran itu di atas batako lalu aku duduk di atasnya. Kuambil sebatang rokok kretek dari wadahnya dan kusulut dengan korek gas milik Gus Udin, dan kuhisap dalam-dalam.

“Clek clek clek… hhhhhhhh….. hshshshshshshshsh…” begitulah. Aku mulai melakukan pengamatan pada tiap sosok peziarah yang melintas di depanku.

“Nunggu siapa, Dik?” tiba-tiba ada suara yang bertanya di samping kananku.

Kutolehkan wajah kea rah suara itu datang. Aku terkejut. Ternyata suara tersebut keluar dari mulut si kakek yang tadi mendepak lututku sampai tiga kali dan sempat menimbulkan kemarahanku. Dari mana datangnya orang ini, tadi kan tidak ada ketika aku bersiap duduk di tempat itu. 

Spontan kupasang wajah agak marah padanya. Tapi sebagai penghormatan, kujawab juga pertanyaan itu.

“Nunggu kawan, Mbah, masih dalam makam,” jawabku sambil mengalihkan pandangan darinya. 

Sengaja aku tidak mengindahkannya dengan memberikan perhatian berlebih padanya. Kutundukkan wajah sambil tangan kiri memijat-mijat tapak kakiku sendiri.

Tangan kanan simbah ini kemudian terjulur ke depan mukaku beberapa jengkal dan mengganggu pandanganku ke koran yang menjadi alasku duduk. Mau apa dia ?

“Ya salaman dulu laah, kita ini kan masih saudara,” suaranya serak dan agak meledekku.
Kami memang seagama, maka kami juga bersaudara. Bahkan jika dia bukan muslim pun kami juga masih saudara karena sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Tangan kananku menyambut uluran tangannya untuk bersalaman. Tapi wajahku tidak kuubah dari posisi awalnya.

“Maafkan saya jika tadi sampeyan anggap saya telah mengganggu sampeyan,” ujarnya.

Aku diam saja dan tidak berusaha menanggapi perkataannya.

“Saya ini minta maaf karena mungkin tidak ada lagi kesempatan bagi saya untuk meminta kepada sesama. Makanya saya minta maaf pada sampeyan,” ujarnya.

Aneh.

 Aku seperti terbawa untuk mau memahami ucapan tersebut. Beberapa saat kami terdiam.
”Sama-sama mbah, saya juga minta maaf”, ujarku sambil menoleh kepadanya.

Pembantu si penjual kopi datang ke arah kami dan membawa dua cangkir kopi dan meletakkan kedua
cangkir tersebut di hadapan kami.

”Saya cuma pesan satu kok mbak”, aku melakukan klarifikasi.

”Saya yang pesan dik”, mbah disampingku menjawab klarifikasiku sebelum pembawa kopi tersebut
menjawab. Akupun mafhhum.

”Saya ini dulu seorang bromocorah dik”, dia seperti ingin bercerita tentang dirinya padaku. 
Lalu dia keluarkan sebungkus rokok klobot dari tas yang ada di delakangnya. Tas yang terbuat dari karung goni.

Sepintas kakek ini seperti pengemis. Dia menyulut rokok klobot tersebut dengan menggunakan korek gasnya yang bermodel klasik. Pipi keriputnya kempat-kemput berjuang menyulut rokok tersebut. Kuperhatikan saja tingkah orang tua ini. Tapi aku tetap diam tidak berusaha menanggapi.

”Hampir semua dosa sudah pernah kulakukan. Aku punya sekian banyak kesaktian. Belum ada orang yang mampu mengalahkanku dalam hal kedigjayaan. Hhhhhhhhh...”, dia menarik nafas panjang setelah berkata-kata.

”Lalu....”, kata-katanya terhenti.

”Kenapa mbah”, tanyaku. Aku mulai berpikir bahwa orang ini sedang dalam pendakian memahami kearifan Tuhan. Mungkin aku dapat membantunya. Aku agak percaya diri. Kulihat senyuman tipis seperti sebuah hinaan tersungging dari bibirnya.

”Mungkin dia menghina dirinya sendiri”, pikirku.

”Suatu saat, ketika aku mau berbuat dosa, tidak terduga muncul bayangan wajah putriku melintas di depan mataku. Kuhalau bayangan tersebut agar menjauh, dan aku tetap melakukan perbuatan dosa tersebut”, dia menarik nafasnya kembali dalam-dalam.

Aku mendengarkan dengan seksama dengan harapan akan memberikan saran yang mungkin dibutuhkannya di akhir cerita nanti.

”Aku lalu pulang. Ternyata putriku yang wajahnya melintas di hadapanku tersebut sudah meninggal dunia. Dunia terasa akan kiamat. Badanku lunglai. Kuanggap diriku adalah orang paling berdosa”, matanya melihat lalu-lalang peziarah tapi kosong menerawang.

”Terus mbah?”, tanyaku.

”Tidak hanya itu. Beberapa waktu kemudian istri dan anak-anakku lainnya menyusul meninggalkanku, mereka meninggal juga”, dia tetap menerawang.

”Maaf mbah”, aku ganti meminta maaf padanya. Mungkin pertanyaanku menggugah kedukaan di hatinya.

Tapi aku merasa tidak begitu bersalah karena dia sendiri yang memulai cerita. Dia tidak menjawab
permintaan maafku, mungkin dia sudah menyadari bahwa cerita tersebut tidak datang dariku, melainkan dari dirinya sendiri.

”Aku merasa tidak dipercaya Allah untuk mendidik anak dan istriku dik. Mungkin karena kelakuanku, sehingga aku tidak dipercaya lagi”, dia menyambung ceritanya.

”Aku lalu berguru tentang agama pada salah seorang ulama di Cirebon. Kudalami agama agar dapat
dipercaya Allah lagi”, katanya.

”Kenapa mbah, Allah khan selalu berikan rahmatnya pada kita tanpa kita minta”, aku mulai menanggapi.

”Jika kita tidak percaya padaNya, itu tidak akan mempengaruhi kekuasaanNya pada semesta ini. Tapi jika Dia tidak percaya pada kita, apa jadinya diri kita ini?”, kata-katanya ada benarnya juga. Aku hanya menganggukangguk saja.

Agaknya dia ingin meneruskan ceritanya.

”Lalu oleh guruku aku disuruh berziarah ke sebuah makam. Saat itu aku tidak tahu itu makam siapa. Aku hanya disuruh untuk berdiam disana untuk berzikir dan mengkhatamkan al Qur’an. Aku dilarang
meninggalkan tempat itu sebelum mengkhatamkan al Qur’an”.

”Dimana makam itu mbah”, tanyaku.

”Itu tidak penting, yang penting pengalamanku melakukan perintah guruku di makam itu”, ujarnya
mengalihkan content pertanyaanku.

”Penting bagaimana mbah?”, aku terpancing juga.

”Tiap akan mengkhatamkan al Qur’an, dari dalam makam itu pasti muncul gangguan sehingga aku urung mengkhatamkan al Qur’an sesuai perintah guruku”, ucapnya.

”Gangguan apa mbah?”, tanyaku tertarik.

”Muncul makhluk mengerikan yang tidak tahu datangnya dan menakutkan nyaliku. Aku lari tunggang langgang dan gagal meleksanakan perintah guruku”, ujarnya sambil tetap tidak menoleh padaku.

”Seperti apa mengerikannya mbah?”.

”Yaaa mengerikan sekali. Belum pernah kulihat sosok seangker itu”, kata si mbah sambil menggelenggelengkan kepalanya.

”Berkali-kali kucoba, berkali-kali itu pula aku gagal”, dia mulai menyruput kopinya. Aku juga melakukan hal yang sama.

”Sampai suatu saat, aku merasa capek juga”, kata-kata orang tua ini mulai menampilkan indikasi sebuah kesimpulan.

”Kulakukan perintah guruku selama beberapa hari, dan sebelum khatam kubaca al Qur’an, muncul mahluk yang mengerikan menggangguku. Aku lalu bangun dari tempatku. Kudekati mahluk itu, kupegang dan injakinjak sekuat tenagaku. Aku kesal dengannya karena terus-terusan menggangguku. Mahluk itupun sirna. 

Tapi aku merasa gagal. Aku menghadap guruku dan mohon maaf karena tidak sanggup melaksanakan
perintahnya. Aku menangis di pangkuan beliau. Tapi beliau malah menganggap apa yang telah kualami sebagai sebuah keberhasilan”, kata-katanya meluncur memasuki ruang dengar telingaku.
Aku sempat berpikir orang ini mengada-ada.

 Tiba-tiba tampak serombongan peziarah berbaju putih-putih dan semua mereka bersorban. Ada keteduhan di wajah kesemua orang di rombongan itu. 

Dengan penglihatanku, kusimpulkan mereka ini orang-orang baik. Mereka berjalan dari utara dan akan melintas di depan kami. Sangat terlihat jika perhatian mereka hanya terfokus pada tujuan mereka sendiri. Mereka tidak terlihat peduli dengan situasi yang mengelilinginya. Sekonyong-konyong, salah seorang dari mereka melihat ke arah kami lalu berhenti dan meminta kawan-kawannya berhenti juga.
 Mereka lalu mendatangi kami dengan bersemangat.

”Assalaamu ’alaikum”, ucap salah seorang dari mereka ketika posisi mereka kira-kira masih sepuluh meter dari tempat kami duduk.

”Wa ’alaikum salaaam”, aku menjawab lirih.

”Siapa yang mereka tuju, apakah diriku, aku tidak kenal mereka?”, aku agak keheranan.

Sejurus kemudian mereka membungkukkan badan dan menyalami dan mencium tangan si kakek tua
temanku ngobrol tadi. Dari sikap mereka, kusimpulkan bahwa romobongan tersebut sangat menghormati orang tua ini. Mereka tidak sedikitpun menghiraukanku.

”Siapa kakek ini?”, tanyaku dalam hati.

”Sudah sudah....”, ucap si kakek sambil beranjak berdiri dan mengajak mereka pergi berbalik dari arah rombongan tersebut datang.

”Saya pamit dulu ya dik, salam alaikum”, ujarnya padaku.

”Wa ’alaikum salam”, jawabku agak heran dengan yang barusan kualami.

Orang-orang di sekelilingku agak heran juga menyaksikan apa yang baru saja terjadi.



Belum usai keherananku, Hagaing, Gemboek, Po dan gus Udin muncul dan menyapaku.

”Sampeyan kemana saja cak, kami cari tidak ketemu-ketemu”, ucap Hagaing.

”Lho, aku dari tadi keluar makam ya disini, tidak kemana-mana”, ucapku membela diri.

”Ah, tadi aku kesini juga tidak lihat sampeyan koq”, Hagaing kembali membenarkan dirinya.

”Benar cak”, kata Gemboek.

”Kamu ngantuk mungkin. Sudahlah, ayo ngopi”, ujarku sambil bersiap duduk kembali.

”Kita pulang saja cak, sudah jam tiga nih. Kita sahur dirumah saja”, Po menolak ajakanku.

”Ah, masak sudah jam tiga”, ujarku agak tidak percaya.

”Jam berapa mas sekarang?”, tanyaku pada orang dibelakangku yang terlihat memakai arloji.

”Jam tiga lebih lima menit mas”, jawabnya.

Kawan-kawanku berempat hanya senyam senyum saja.

”Repot, ini namanya belum tua sudah pikun”, Gemboek menggodaku.

”Masak sudah jam tiga, perasaan tadi hanya lima atau sepuluh menit aku duduk disini”, ujarku sambil
melangkah ke ibu penjual kopi untuk membayar kopiku.

”Berapa bu, kopi dua”, kulihat si orang tua tadi belum sempat membayar kopinya.

”Sudah dik, sudah dibayar orang tua tadi”, ucap ibu penjual tersebut.

”Apa betul bu, dia khan belum sempat bayar karena langsung pergi?”, aku tidak percaya.

”Sudah mas, sudah”, ibu tersebut tetap bertahan pada pendiriannya.

”Ya sudah jika begitu, terima kasih”, ujarku sambil berbalik menuju empat sahabatku yang cengengesan memperhatikanku.

”Kenapa cak, kedatangan pikun lagi?”, tanya Po dengan iringan senyuman keempat manusia tersebut.
Aku tidak menjawabnya dan langsung berjalan ke tempat parkir mobil kami. Mereka berempat seperti sengaja berjalan di belakangku dan membiarkanku berjalan sendirian di depan mereka.

”Hati-hati cak, nanti tersesat lho”, ujar Hagaing dari belakang.
Tidak kupedulikan ledekan itu, aku hanya geleng-geleng kepala saja.


Di sepanjang perjalanan pulang dari makam Sunan Ampel, kuingat-ingat orang tua teman ngopiku tadi. Aku berpikir-pikir sendiri dalam benakku.
 
”Siapa orang itu? Dia minta maaf padaku karena khawatir tidak akan punya kesempatan lagi untuk meminta maaf. 
Mengapa orang-orang tadi menyalami dan menghormatinya? Siapa dia sebenarnya? Mungkinkah dia menyindir kebodohan keimananku? Mungkinkah dia sengaja mendepak lututku tadi untuk menguji kesabaranku? 
Tidak mungkin dia orang biasa, jika melihat perlakuan orang-orang tadi padanya”, aku bertanya-tanya sendiri. 

Yang jelas, aku telah tertipu dengan pandangan mata dan kepandiran hatiku memahai realitas. Kuanggap yang terlihat putih pasti ”putih”. Kuklaim yang buruk rupa pasti ”buruk hati”. Tidak kupahami rahasia Tuhan ketika Dia ciptakan perbendaharaan dunia antara dua huruf ”kaf” dan ”nun”. Kulewatkan rahasia huruf ”lam” dan ”mim” yang masih tetap menjadi misteri bagi kebodohan imanku.


 Mustofa, 2008


Komentar

  1. saya tdk percaya cerita ini, saya yakin ini hanya ngarang bebas

    BalasHapus

Posting Komentar