Aku
berjalan sendirian keluar melewati gapura pertama dari komplek makam setelah
beberapa saat mencari-cari bakiak bajul-ku
yang berhamburan dari tempat dimana benda tersebut kuletakkan. Kupepetkan badan
ke tembok komplek makam dengan harapan aku lebih lancar keluar dari arus
keluar-masuk peziarah di komplek tersebut.
Dalam
kondisi seperti itu butuh kekhusyu’an ekstra demi menyelamatkan derajat
keimanan kita dari nafsu hayawaniyah
yang sangat berpotensi datang dan menggoda. Dalam himpitan dan desakan, jika
dilakukan oleh sesame lelaki, baik tua atau muda, atau ibu-ibu yang terkadang
seenaknya mendesak dan menginjak kaki tetangganya, maka akan muncul rasa
kemarahan darinya. Akan berbeda “rasa” himpitan dan desakan jika pelakunya
adalah seorang gadis terhadap remaja, atau sebaliknya. Muncul “aroma lain” dari
desakan itu. Kupikir hal itu sangatlah manusiawi. Tapi karena itulah baju
keikhlasan kepada, karena, dan dalam Tuhan menjadi kurang pantas lagi karena
menyandang sorban kenistaan.
Kulihat
jam di dinding masjid menunjukkan pukul 00.15 WIB dini hari. Kupercepat langkah
untuk cepat sampai di warung kopi tujuanku, walaupun juga agak sia-sia karena
tertahan oleh barisan manusia. Akhirnya aku sampai juga di tempat itu. Telah
banyak orang yang tengah asyik dengan minuman, rokok, obrolan, dan makanan
kecilnya masing-masing. Kutebarkan pandangan ke lokasi tersebut dengan harapan
kutemukan sosok Po dan Gemboek yang telah menyelesaikan wiridannya terlebih
dulu. Tapi tubuh mereka tidak kutemukan di antara orang-orang yang duduk di
tempat itu.
“Mungkinkah
mereka ngopi di tempat lain?” gumamku dalam hati.
“Ah
tidak, kita sudah terbiasa ngopi di sini.” Kujawab sendiri pertanyaanku.
“Ataukah
mungkin mereka sedang berjalan-jalan melihat-lihat dagangan penjual di
sepanjang pintu masuk tadi?” aku bertanya lagi pada hatiku.
“Mungkin
saja, tapi kalau aku jadi mereka, aku tentu enggan karena ramainya peziarah,”
kujawab lagi pertanyaan itu.
“Atau
mungkinkaaahhh…. Aaahh biarlah,” aku mencoba ambil keputusan.
“Dimanapun
mereka pasti nanti kesini, wong Gud
Udin dan Hagaing masih di dalam dan akan kesini. Kutunggu saja sambil ngopi.”
Akhirnya aku memastikan keputusanku.
“Kopi,
Buk, tapi agak pahit,” pintaku pada ibu penjual kopi.
“Enggih lek, tung?”(Iya dik, satu saja?)
dia ganti bertanya. Aku mengangguk saja. Dari jawaban yang keluar dari mulutnya,
kupastikan ibu tersebut berasal dari Pulau Garam, Madura.
Kubeli
lembaran koran seharga seribu dari anak-anak kecil yang berjualan kertas koran
dan kresek di sekitar lokasi masjid tersebut. Kupilih tempat yang agak longgar
di antara pengunjung warung kopi.
Kugelar lembaran koran itu di atas batako
lalu aku duduk di atasnya. Kuambil sebatang rokok kretek dari wadahnya dan
kusulut dengan korek gas milik Gus Udin, dan kuhisap dalam-dalam.
“Clek clek clek… hhhhhhhh…..
hshshshshshshshsh…” begitulah. Aku mulai melakukan pengamatan
pada tiap sosok peziarah yang melintas di depanku.
“Nunggu
siapa, Dik?” tiba-tiba ada suara yang bertanya di samping kananku.
Kutolehkan
wajah kea rah suara itu datang. Aku terkejut. Ternyata suara tersebut keluar
dari mulut si kakek yang tadi mendepak lututku sampai tiga kali dan sempat
menimbulkan kemarahanku. Dari mana datangnya orang ini, tadi kan tidak ada
ketika aku bersiap duduk di tempat itu.
Spontan kupasang wajah agak marah
padanya. Tapi sebagai penghormatan, kujawab juga pertanyaan itu.
“Nunggu
kawan, Mbah, masih dalam makam,” jawabku sambil mengalihkan pandangan darinya.
Sengaja aku tidak mengindahkannya dengan memberikan perhatian berlebih padanya.
Kutundukkan wajah sambil tangan kiri memijat-mijat tapak kakiku sendiri.
Tangan
kanan simbah ini kemudian terjulur ke depan mukaku beberapa jengkal dan
mengganggu pandanganku ke koran yang menjadi alasku duduk. Mau apa dia ?
“Ya
salaman dulu laah, kita ini kan masih saudara,” suaranya serak dan agak
meledekku.
Kami
memang seagama, maka kami juga bersaudara. Bahkan jika dia bukan muslim pun
kami juga masih saudara karena sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Tangan
kananku menyambut uluran tangannya untuk bersalaman. Tapi wajahku tidak kuubah
dari posisi awalnya.
“Maafkan
saya jika tadi sampeyan anggap saya telah mengganggu sampeyan,” ujarnya.
Aku
diam saja dan tidak berusaha menanggapi perkataannya.
“Saya
ini minta maaf karena mungkin tidak ada lagi kesempatan bagi saya untuk meminta
kepada sesama. Makanya saya minta maaf pada sampeyan,” ujarnya.
Aneh.
Aku
seperti terbawa untuk mau memahami ucapan tersebut. Beberapa saat kami terdiam.
”Sama-sama mbah, saya juga minta maaf”, ujarku sambil menoleh kepadanya.
”Sama-sama mbah, saya juga minta maaf”, ujarku sambil menoleh kepadanya.
Pembantu si penjual kopi datang ke arah kami dan membawa dua
cangkir kopi dan meletakkan kedua
cangkir tersebut di hadapan kami.
cangkir tersebut di hadapan kami.
”Saya
cuma pesan satu kok mbak”, aku melakukan klarifikasi.
”Saya yang pesan dik”, mbah disampingku menjawab
klarifikasiku sebelum pembawa kopi tersebut
menjawab. Akupun mafhhum.
menjawab. Akupun mafhhum.
”Saya
ini dulu seorang bromocorah dik”, dia seperti ingin bercerita tentang dirinya
padaku.
Lalu dia keluarkan sebungkus rokok klobot dari tas yang ada di
delakangnya. Tas yang terbuat dari karung goni.
Sepintas kakek ini seperti pengemis. Dia menyulut rokok
klobot tersebut dengan menggunakan korek gasnya yang bermodel klasik. Pipi keriputnya kempat-kemput
berjuang menyulut rokok tersebut. Kuperhatikan saja tingkah orang tua ini. Tapi aku tetap diam tidak
berusaha menanggapi.
”Hampir semua dosa sudah pernah kulakukan. Aku punya sekian
banyak kesaktian. Belum ada orang yang mampu mengalahkanku dalam hal kedigjayaan. Hhhhhhhhh...”, dia menarik
nafas panjang setelah berkata-kata.
”Lalu....”, kata-katanya terhenti.
”Kenapa mbah”, tanyaku. Aku mulai berpikir bahwa orang ini
sedang dalam pendakian memahami kearifan Tuhan. Mungkin aku dapat membantunya. Aku agak percaya diri. Kulihat
senyuman tipis seperti sebuah hinaan
tersungging dari bibirnya.
”Mungkin dia menghina dirinya sendiri”, pikirku.
”Suatu saat, ketika aku mau berbuat dosa, tidak terduga muncul
bayangan wajah putriku melintas di depan mataku. Kuhalau bayangan tersebut agar menjauh, dan aku tetap
melakukan perbuatan dosa tersebut”, dia menarik nafasnya kembali dalam-dalam.
Aku mendengarkan dengan seksama dengan harapan akan
memberikan saran yang mungkin dibutuhkannya di akhir cerita nanti.
”Aku lalu pulang. Ternyata putriku yang wajahnya melintas di
hadapanku tersebut sudah meninggal dunia. Dunia terasa akan kiamat. Badanku lunglai. Kuanggap diriku adalah
orang paling berdosa”, matanya melihat lalu-lalang peziarah tapi kosong menerawang.
”Terus mbah?”, tanyaku.
”Tidak hanya itu. Beberapa waktu kemudian istri dan
anak-anakku lainnya menyusul meninggalkanku, mereka meninggal juga”, dia tetap menerawang.
”Maaf mbah”, aku ganti meminta maaf padanya. Mungkin
pertanyaanku menggugah kedukaan di hatinya.
Tapi aku merasa tidak begitu bersalah karena dia sendiri yang
memulai cerita. Dia tidak menjawab
permintaan maafku, mungkin dia sudah menyadari bahwa cerita tersebut tidak datang dariku, melainkan dari dirinya sendiri.
permintaan maafku, mungkin dia sudah menyadari bahwa cerita tersebut tidak datang dariku, melainkan dari dirinya sendiri.
”Aku merasa tidak dipercaya Allah untuk mendidik anak dan
istriku dik. Mungkin karena kelakuanku, sehingga aku tidak dipercaya lagi”, dia menyambung ceritanya.
”Aku lalu berguru tentang agama pada salah seorang ulama di
Cirebon. Kudalami agama agar dapat
dipercaya Allah lagi”, katanya.
dipercaya Allah lagi”, katanya.
”Kenapa mbah, Allah khan selalu berikan rahmatnya pada kita
tanpa kita minta”, aku mulai menanggapi.
”Jika kita tidak percaya padaNya, itu tidak akan mempengaruhi
kekuasaanNya pada semesta ini. Tapi jika Dia tidak percaya pada kita, apa jadinya diri kita ini?”,
kata-katanya ada benarnya juga. Aku hanya menganggukangguk saja.
Agaknya dia ingin meneruskan ceritanya.
”Lalu oleh guruku aku disuruh berziarah ke sebuah makam. Saat
itu aku tidak tahu itu makam siapa. Aku hanya disuruh untuk berdiam disana untuk berzikir dan
mengkhatamkan al Qur’an. Aku dilarang
meninggalkan tempat itu sebelum mengkhatamkan al Qur’an”.
meninggalkan tempat itu sebelum mengkhatamkan al Qur’an”.
”Dimana makam itu mbah”, tanyaku.
”Itu tidak penting, yang penting pengalamanku melakukan
perintah guruku di makam itu”, ujarnya
mengalihkan content pertanyaanku.
mengalihkan content pertanyaanku.
”Penting bagaimana mbah?”, aku terpancing juga.
”Tiap akan mengkhatamkan al Qur’an, dari dalam makam itu
pasti muncul gangguan sehingga aku urung mengkhatamkan al Qur’an sesuai perintah guruku”, ucapnya.
”Gangguan apa mbah?”, tanyaku tertarik.
”Muncul makhluk mengerikan yang tidak tahu datangnya dan
menakutkan nyaliku. Aku lari tunggang langgang dan gagal meleksanakan perintah guruku”, ujarnya
sambil tetap tidak menoleh padaku.
”Seperti apa mengerikannya mbah?”.
”Yaaa mengerikan sekali. Belum pernah kulihat sosok seangker
itu”, kata si mbah sambil menggelenggelengkan kepalanya.
”Berkali-kali kucoba, berkali-kali itu pula aku gagal”, dia
mulai menyruput kopinya. Aku juga melakukan hal yang sama.
”Sampai suatu saat, aku merasa capek juga”, kata-kata orang
tua ini mulai menampilkan indikasi sebuah kesimpulan.
”Kulakukan perintah guruku selama beberapa hari, dan sebelum
khatam kubaca al Qur’an, muncul mahluk yang mengerikan menggangguku. Aku lalu bangun dari tempatku.
Kudekati mahluk itu, kupegang dan injakinjak sekuat tenagaku. Aku kesal dengannya karena terus-terusan
menggangguku. Mahluk itupun sirna.
Tapi aku merasa gagal. Aku menghadap guruku dan mohon maaf karena
tidak sanggup melaksanakan
perintahnya. Aku menangis di pangkuan beliau. Tapi beliau malah menganggap apa yang telah kualami sebagai sebuah keberhasilan”, kata-katanya meluncur memasuki ruang dengar telingaku.
Aku sempat berpikir orang ini mengada-ada.
perintahnya. Aku menangis di pangkuan beliau. Tapi beliau malah menganggap apa yang telah kualami sebagai sebuah keberhasilan”, kata-katanya meluncur memasuki ruang dengar telingaku.
Aku sempat berpikir orang ini mengada-ada.
Tiba-tiba tampak
serombongan peziarah berbaju putih-putih dan semua mereka bersorban. Ada keteduhan di wajah kesemua
orang di rombongan itu.
Dengan penglihatanku, kusimpulkan mereka ini orang-orang baik.
Mereka berjalan dari utara dan akan melintas di depan kami. Sangat terlihat jika perhatian mereka hanya
terfokus pada tujuan mereka sendiri. Mereka tidak terlihat peduli dengan situasi yang mengelilinginya.
Sekonyong-konyong, salah seorang dari mereka melihat ke arah kami lalu berhenti dan meminta
kawan-kawannya berhenti juga.
Mereka lalu mendatangi kami dengan bersemangat.
”Assalaamu ’alaikum”, ucap salah seorang dari mereka ketika
posisi mereka kira-kira masih sepuluh meter dari tempat kami duduk.
”Wa ’alaikum salaaam”, aku menjawab lirih.
”Siapa
yang mereka tuju, apakah diriku, aku tidak kenal mereka?”, aku agak keheranan.
Sejurus kemudian mereka membungkukkan badan dan menyalami dan mencium tangan si kakek tua
temanku ngobrol tadi. Dari sikap mereka, kusimpulkan bahwa romobongan tersebut sangat menghormati orang tua ini. Mereka tidak sedikitpun menghiraukanku.
”Siapa kakek ini?”, tanyaku dalam hati.
”Sudah sudah....”, ucap si kakek sambil beranjak berdiri dan
mengajak mereka pergi berbalik dari arah rombongan tersebut datang.
”Saya pamit dulu ya dik, salam alaikum”, ujarnya padaku.
”Wa ’alaikum salam”, jawabku agak heran dengan yang barusan
kualami.
Orang-orang di sekelilingku agak heran juga menyaksikan apa
yang baru saja terjadi.
Belum
usai keherananku, Hagaing, Gemboek,
Po dan gus Udin muncul dan menyapaku.
”Sampeyan kemana saja cak, kami cari tidak ketemu-ketemu”,
ucap Hagaing.
”Lho, aku dari tadi keluar makam ya disini, tidak
kemana-mana”, ucapku membela diri.
”Ah, tadi aku kesini juga tidak lihat sampeyan koq”, Hagaing
kembali membenarkan dirinya.
”Benar cak”, kata Gemboek.
”Kamu ngantuk mungkin. Sudahlah, ayo ngopi”, ujarku sambil
bersiap duduk kembali.
”Kita pulang saja cak, sudah jam tiga nih. Kita sahur dirumah
saja”, Po menolak ajakanku.
”Ah, masak sudah jam tiga”, ujarku agak tidak percaya.
”Jam berapa mas sekarang?”, tanyaku pada orang dibelakangku
yang terlihat memakai arloji.
”Jam tiga lebih lima menit mas”, jawabnya.
Kawan-kawanku
berempat hanya senyam senyum saja.
”Repot, ini namanya belum tua sudah pikun”, Gemboek
menggodaku.
”Masak sudah jam tiga, perasaan tadi hanya lima atau sepuluh
menit aku duduk disini”, ujarku sambil
melangkah ke ibu penjual kopi untuk membayar kopiku.
melangkah ke ibu penjual kopi untuk membayar kopiku.
”Berapa bu, kopi dua”, kulihat si orang tua tadi belum sempat
membayar kopinya.
”Sudah dik, sudah dibayar orang tua tadi”, ucap ibu penjual
tersebut.
”Apa betul bu, dia khan belum sempat bayar karena langsung
pergi?”, aku tidak percaya.
”Sudah mas, sudah”, ibu tersebut tetap bertahan pada
pendiriannya.
”Ya sudah jika begitu, terima kasih”, ujarku sambil berbalik
menuju empat sahabatku yang cengengesan memperhatikanku.
”Kenapa
cak, kedatangan pikun lagi?”, tanya Po dengan iringan senyuman keempat manusia
tersebut.
Aku tidak menjawabnya dan langsung berjalan ke tempat parkir mobil kami. Mereka berempat seperti sengaja berjalan di belakangku dan membiarkanku berjalan sendirian di depan mereka.
Aku tidak menjawabnya dan langsung berjalan ke tempat parkir mobil kami. Mereka berempat seperti sengaja berjalan di belakangku dan membiarkanku berjalan sendirian di depan mereka.
”Hati-hati cak, nanti tersesat lho”, ujar Hagaing dari
belakang.
Tidak kupedulikan ledekan itu, aku hanya geleng-geleng kepala saja.
Tidak kupedulikan ledekan itu, aku hanya geleng-geleng kepala saja.
Di sepanjang perjalanan pulang dari makam Sunan Ampel, kuingat-ingat orang tua teman ngopiku tadi. Aku berpikir-pikir sendiri dalam benakku.
”Siapa orang itu? Dia minta maaf padaku karena
khawatir tidak akan punya kesempatan lagi untuk meminta maaf.
Mengapa orang-orang tadi menyalami dan
menghormatinya? Siapa dia sebenarnya? Mungkinkah dia menyindir kebodohan
keimananku? Mungkinkah dia sengaja mendepak lututku tadi untuk menguji kesabaranku?
Tidak mungkin dia orang biasa, jika melihat
perlakuan orang-orang tadi padanya”, aku bertanya-tanya sendiri.
Yang jelas, aku
telah tertipu dengan pandangan mata dan kepandiran hatiku memahai realitas.
Kuanggap yang terlihat putih
pasti ”putih”. Kuklaim yang buruk rupa pasti ”buruk hati”. Tidak kupahami
rahasia Tuhan ketika Dia ciptakan
perbendaharaan dunia antara dua huruf ”kaf” dan ”nun”. Kulewatkan rahasia huruf
”lam” dan ”mim” yang masih tetap menjadi misteri bagi kebodohan imanku.
Mustofa, 2008
saya tdk percaya cerita ini, saya yakin ini hanya ngarang bebas
BalasHapus