Darah Biru - part 1

Mutiara berbaju batu. Intan bersorban lumpur. Emas bersepuh tembaga.
Oke setelah lama tidak posting dikarenakan faktor kemalasan, kali ini aku akan menceritakan ulang sebuah sub judul novel berjudul Spesies Santri karya Chabib Mustofa.
Skutt langsung aja


Aku dilahirkan dalam keluarga yang tidak dapat dikatakan sangat santri. Secara matrilineal, aku adalah anak dari seorang perempuan, putri dari Marmah, Marmah putri dari Mar’ah. Mar’ah inilah  yang –konon katanya orang –dulu  memiliki tanah terluas di Santri Rejo Barat, baik berupa tanah hunian maupun tanah sawah. Mar’ah menikah dengan seorang lelaki bernama Murad Ali dari desa tetangga, Nawangsari. Nawang berarti melihat, sari berarti inti pati. Murad Ali inilah yang kusebut dengan buyut. Beliau masih memiliki jalinan kekerabatan dengan keluarga kiai di Nawangsari, sehingga belakangan beluai juga dipanggil dengan sebutan Kiai oleh orang kampungku, walaupun beliau juga tidak mengasuh pesantren.

Mungkin karena itu pula jenazah beliau tidak dimakamkan di pemakaman umum di Santri Rejo Barat, namun dikebumikan tepat pada lokasi khusus di sisi barat paimaman (tempat imam memimpin jmaah shalat) Masjid Al BAdri di Nawangsari. Menurut orang kampungku dan orang Nawangsari sendiri, jenazah yang dimakamkan disana adalah jasad mati dari orang yang semasa hidupnya memiliki kelebihan derajat di sisi Allah, mereka biasa disebut dengan wali atau auliya.

Buyutku meninggal ketika usiaku baru tujuh tahun dan masih berada di kelas dua madrasah ibtidaiyah. Jadi sangat minim fakta empiris yang masuk ke system inderaku tentang kekeramatan beliau seperti yang dikabarkan orang, walaupun rumah Buyut hanya terpaut satu rumah di barat rumahku.

Jangankan hal tersebut, gambaran seksama dari tubuh buyutku pun aku tidak ingat, kecuali badan kurus, kulit kuning, wajah tegar, mata sayu tapi tajam menusuk relung hati, dan –ini yang paling penting –sifat dermawan. Beliau adalah orang yang sangat memanjakan aku ketika kecil dengan pemberian uang dan makanan tanpa aku minta. Beliau juga salah satu orang yang aku belajar akan perasaan segan dengan ketegasan sikapnya.
          
  “Mad…!! Cepat bawa korek api kesini, akan kubakar rambut Qusyairi yang sudah panjang itu,” bentak Buyut pada puteranya, Ahmad.

Beliau ada di dalam rumah dan tidak terlihat olehku yang saat itu berjalan di sebelah dapur rumahnya. Hanya suaranya yang terdengar parau menakutkan. Aku yang tanpa sadar sebelumnya, kontan berlari menjauh. Dari kejadian itu, dari kecil aku mulai berpikir bahwa rambut panjang bagi lelaki adalah larangan.

Sering juga aku dipanggil dari serambi rumah buyut kemudian Buyut memberiku uang, makanan, atau buah-buahan. Aku tidak tahu persis dari mana uang dan makanan itu karena Buyutku tidak bekerja. Yang jelas, hampir tiap hari ada tamu yang dating padanya, dan kebanyakan dari mereka selalu membawa barang-barang untuk diberikan kepada Buyutku. Tidak hanya orang yang berpakaian bagus yang datang, namun ada juga yang datang dengan pakaian compang-camping. Masih kuat dalam ingatanku, beliau pernah memarahiku karena aku mengolok-olok seseorang yang biasa dipanggil Yek Amang.

“Yek Amang gilaaa…. Yek Amang gilaaa….Yek Amang gilaa…” ledekku kepada seorang lelaki berbaju kumal dan berbau busuk, namun berkulit kuning, bercelak mata, berambut ikal keriting dan berhidung mancung. Lelaki bernama Yek Amang adalah momok bagiku waktu kecil, karena menurut teman-teman dan kebanyakan orang di kampong, dia tidak waras, alias gila. Aku dan teman-temanku di sekolah juga sering lari terbirit-birit jika Yek Amang melintas di hadapan kami. Perilakunya juga aneh dan tidak menghiraukan sekitarnya.

Ledekan tersebut terlontar dari mulutku dan teman-temanku sepermainan karena melihat Yek Amang tetap saja tidur di pojok langgar di bawah kentongan sambil berselimut sarung dekilnya yang berbau busuk ketika buyutku mengimami sholat maghrib berjamaah. Sudah dua hari dia menjadi tamu buyutku dan selalu terlihat tidur di langgar, tidak pernah terlihat makan, minum, kencing, mandi apalagi gosok gigi. Sampai jamaah sholat usai, Yek Amang tetap tidur seenaknya dan tidak ikut sholat berjamaah.

Selesai membaca wiridan bersama dan berdoa, satu persatu jamaah undur diri dan kami yang masih kanak-kanak mengambil dampar untuk tempat belajar ngaji. Sesekali kami melirik Yek Amang yang masih asyik cuek dengan tidurnya. Tak terduga keluar suara dari mulut Yek Amang yang tidur itu.

 “Alam nasyroh laka shodrok… wawadlo’naaa ‘anka wizrok… alladzii ‘angqodlo dhohrok… warofa’naa laka dzikrok,” begitulah suaranya terdengar fasih dengan makhrojul huruf dan tajwid yang mengesankan bagi kami. Lantunan yang belakangan kuketahui adalah penggalan ayat-ayat Al-Quran surat al-Insyiroh yang waktu itu belum kami pelajari. Sejurus kemudian, tanpa dikomando, kami pun mulai mengolok-oloknya.
“Yek Amang gilaa… Yek Amang gilaa.. Yek Amang gilaaa…” ledekan kami mulai memprovokasi.

Aneh, dia tidak bergeming sedikitpun. Kami pun mulai meneruskan provokasi kea rah lebih serius. Sambil terus meledek dengan kata-kata yang sama, kami mendekat dan mulai menarik sarungnya, karena selama itu kami ketahui Yek Amang tidak pernah memakai celana dalam. Kami sering –maaf –melihat kelaminnya tanpa sengaja ketika dia jongkok atau sedang duduk kebingungan di pinggir jalan.

Yek Amang mulai terusik. Badannya mulai bergerak, tapi tetap tidak bangun dari tidurnya. Kami semakin penasaran dan bersemangat memprovokasi.
“Yek Amang gilaa… Yek Amang gilaaa… Yek Amang gilaa….”
Ledekan kami terdengar keras dan mungkin terdengar dari rumah buyutku yang hanya berjarak 2 meter di utara dari langgar. Bahkan mungkin terdengar juga dari rumahku yang berjarak 10 meter di timur langgar. Tengah asyik meledek Yek Amang, tiba-tiba sosok Buyutku sudah ada di belakang kami. Kemurkaan terlihat jelas di sela-sela keriput wajahnya yang renta.
“Berhenti!!!!!” teriak buyutku murka.

Kami pun lari tunggang-langgang keluar langgar dan ngeloyor pulang tanpa permisi. Bahkan ada temanku yang tidak sempat mengenakan sandalnya karena sangat ketakutan. Ketika aku mau lari dari tempat itu, tengkukku telah berada dalam cengkraman tangan beliau yang terasa kuat dan menyakitkan. Muncul ide untuk berteriak memanggil abah dan ibu, namun kuurungkan niat itu karena aku tahu betul bahwa kedua orang tuaku juga tunduk pada Buyutku.
Perlahan cengkraman tangan Buyut di tengkukku mulai melemah

“Mau lari kemana??!!!!” tanyanya dengan nada tinggi.

“Tidak Yut… kapoook… kapoook…” rengekku seraya melemaskan diri.

“Kamu tahu dia (Yek Amang) itu siapa??!!?” sekalo lagi buyut menginterogasiku. Aku diam saja 
karena ketakutan. Dia bertanya lagi sambil kembali menguatkan cengkramannya.

“Kamu tahu dia (Yek Amang) itu siapa???!!!”

Aku yang takut dan mulai merasa kesakitan menjawab,

“Orang gila, Yuut…”

“Siapa yang bilang dia orang gila?? Kamu diajari siapa!!” bentak Buyut.

“Tidak ada, Yuut..” jawabku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Sudah Rad… kasihan dia kan masih kecil, anak kecil tidak punya dosa”, tiba-tiba suara Yek Amang terdengar walaupun dia tidak terlihat bangun dari tidurnya.

Perlahan Buyut melepaskan cengkeraman dari tengkukku lalu memalingkan badanku ke arahnya.

“Kamu tahu Ri, dari semua yang ikut sholat maghrib berjamaah tadi, tidak ada yang lebih baik dari Yek Amang,” tutur Buyut dengan mata tajam ke arahku.

Kontan aku protes diam-diam pada Buyut. Jelas-jelas Yek Amang tidak sholat maghrib, aku dan teman-temanku ikut sholat maghrib. Mengapa dia lebih baik dari kami? Tapi mungkin hanya Tuhan yang tahu kata-kata protesku itu.

“Dia yang kamu ledek, kamu ganggu, kamu dzolimi dirinya, tadi jelas membelamu agar tidak kuhukum. Apakah kamu merasa lebih baik darinya?” Tanya Buyut padaku

“Cepat minta maaf padanya sekarang!!!” perintah Buyut sambil  membalikkan tubuhku menghadap Yek Amang.

Karena takut, kuturuti perintahnya, kudekatkan diriku dan kuraih tangan Yek Amang dan kupaksakan mencium tangannya sambil berkata, “Maafkan saya, Yek..”

 “Hhmm,” timpal Yek Amang.

“Maafkan cucuku, Yek,” suara Buyut juga memohon Yek Amang.

Kulirik Buyutku bersikap takzim pada Yek Amang, padahal jarang-jarang aku melihatnya demikian.

“Iya, aku ya minta maaf, Rad,” sahut Yek Amang tanpa beranjak bangun.

Setelah itu Buyut menyuruhku pulang. Di rumah, aku bertanya dalam hati, mengapa aku tidak boleh merasa lebih baik dari Yek Amang. Nalarku masih tidak dapat menerima perintah tersebut. Mengapa juga Buyut bersikap takzim pada Yek Amang? Yang Kiai kan Buyutku, bukan Yek Amang. Kenapa yang tidak sholat dibela, dan yang sholat disalahkan? Kenapa orang lain dihormati sedang yang jelas cucu sendiri disakiti? Tak paham aku pada yang barusan kualami.

Mustofa, 2008 : 23-31

Komentar