Darah Biru - part 2


Aku mengadukan Buyut ke abahku. “Tadi saya dimarahi Buyut, Bah,” ucapku memulai pembicaraan sambil memijit –mijit betis Abah yang tengkurap di ruang tamu kami

“Dimarahi bagaimana, Ri?” Tanya abahku.

“Ya dimarahi, Bah, kemarin di langgar saat saya ngaji ke Mbah Mad (putera buyutku),” aku mulai mengadu

“Memangnya kamu salah apa?” abahku mencoba klarifikasi.

“Saya meledek Yek Amang karena dia tidak kut sholat maghrib berjamaah, tapi tidur dipojok langgar,” aku muai bersemangat.

“Ah… masak tidur di langgar saat ada orang sedang berjamaah Ri? Dimana letak tidurnya?” abahku bertanya lagi.

“Ya di langgar, Bah, di bawah kentongan langgar itu,” jelasku.

“Oooo, disitu ya..?” gumam abah dengan nada datar. “Terus kamu diapakan Buyutmu?”, Tanya abah dengan sedikit menoleh melirikku, walau beliau masih dalam posisi tengkurap, tidak berbaju dan hanya mengenakan sarung.

“Dimarahi Bah, tengkukku ini dicegkeram. Sakit sekali rasanya,” suaraku meninggi.

“Tapi tidak apa-apa toh?” Tanya abahku.

“Ya tidak, Bah” jawabku.

“Terus kamu diapakan lagi, Nak?” Tanya abahku lagi

“Yaaa ndak diapa-apakan lagi, saya hanya disuruh minta maaf pada Yek Amang dan disuruh mencium tangan Yek Amang. Bayangkan Bah, cium tangan Yek Amang yang gila dan tidak pernah mandi itu! Abah bisa bayangkan betapa bau tangan Yek Amang. Wong pakaiannya saja berbau anyir, apalagi tubuhnya. Mungkin hanya saya satu-satunya anak di kampong ini yang pernah cium tangan Yek Amang.”

Aku sangat bersemangat menceritakannya, harapanku abah dapat membelaku di hadapan Buyut, walaupun mungkin sudah tiada berarti lagi.

Abah terlihat menyimak dan berusaha memahami ucapanku dengan seksama. Sambil tengkurao dan menolehkan kepalanya ke kiri, matanya tajam menyorot. Dahinya mengkerut, menyebabkan dua alis tebalnya seakan-akan bersambung menjadi satu.

“Kamu tidak membantah Buyutmu?” Tanya beliau yang kini memejamkan matanya.

“Tidak Bah, saya takut,” jawabku.

“Tapi kamu merasa benar kan?” dia membuka kelopak matanya lagi.

“Ya jelas Bah, lagian saya kan cucunya Buyut, Yek Amang kan orang lain. Buyut kan Kiai, sakti, dan banyak muridnya. Masak saya tidak dibela, malah orang lain yang dibela, gila lagi. Sudah gila, tidak sholat, tidur di langgar, ndak pernah mandi….”

“Kamu dendam ya..?” Tanya Abah memotong ucapanku.

Aku terdiam sejenak, lalu kembali bersuara. “Pada Buyut tidak Bah, tapi pada Yek Amang iya.” Jawabku tegas.

“Sudah…sudah Ri,” ucap Abah seraya mengubah posisinya menjadi telentang dan sejurus kemudian duduk berhadapan  denganku dan menyandarkan punggungnya ke dinding sisi barat dari ruang tamu kami.

“Ambilkan rokok dan kopi Abah di meja”, perintahnya tanpa menoleh ke arahku sambil menjangkau asbak dan meletakkan di depannya.

Aku segera berdiri, memperbaiki posisi sarungku dan bergegas mengambil benda-benda sesuai yang diperintahkan Abah.

“Duduk situ,” abah menyuruhku duduk  di depannya.

Aku pun melakukan perintah beliau dan duduk bersila sekitar 1 meter di hadapan beliau.Aku menantikan pembelaan abah atas nasibku yang merasa didholimi oleh Buyut karena seseorang yang gila, Yek Amang.



Mustofa, 2008 : 31-36

Komentar