Aku mengadukan Buyut ke
abahku. “Tadi saya dimarahi Buyut, Bah,” ucapku memulai pembicaraan sambil
memijit –mijit betis Abah yang tengkurap di ruang tamu kami
“Dimarahi bagaimana,
Ri?” Tanya abahku.
“Ya dimarahi, Bah,
kemarin di langgar saat saya ngaji ke Mbah Mad (putera buyutku),” aku mulai
mengadu
“Memangnya kamu salah
apa?” abahku mencoba klarifikasi.
“Saya meledek Yek Amang
karena dia tidak kut sholat maghrib berjamaah, tapi tidur dipojok langgar,” aku
muai bersemangat.
“Ah… masak tidur di
langgar saat ada orang sedang berjamaah Ri? Dimana letak tidurnya?” abahku
bertanya lagi.
“Ya di langgar, Bah, di
bawah kentongan langgar itu,” jelasku.
“Oooo, disitu ya..?”
gumam abah dengan nada datar. “Terus kamu diapakan Buyutmu?”, Tanya abah dengan
sedikit menoleh melirikku, walau beliau masih dalam posisi tengkurap, tidak
berbaju dan hanya mengenakan sarung.
“Dimarahi Bah,
tengkukku ini dicegkeram. Sakit sekali rasanya,” suaraku meninggi.
“Tapi tidak apa-apa
toh?” Tanya abahku.
“Ya tidak, Bah”
jawabku.
“Terus kamu diapakan
lagi, Nak?” Tanya abahku lagi
“Yaaa ndak diapa-apakan
lagi, saya hanya disuruh minta maaf pada Yek Amang dan disuruh mencium tangan
Yek Amang. Bayangkan Bah, cium tangan Yek Amang yang gila dan tidak pernah
mandi itu! Abah bisa bayangkan betapa bau tangan Yek Amang. Wong pakaiannya
saja berbau anyir, apalagi tubuhnya. Mungkin hanya saya satu-satunya anak di kampong
ini yang pernah cium tangan Yek Amang.”
Aku
sangat bersemangat menceritakannya, harapanku abah dapat membelaku di hadapan
Buyut, walaupun mungkin sudah tiada berarti lagi.
Abah
terlihat menyimak dan berusaha memahami ucapanku dengan seksama. Sambil
tengkurao dan menolehkan kepalanya ke kiri, matanya tajam menyorot. Dahinya
mengkerut, menyebabkan dua alis tebalnya seakan-akan bersambung menjadi satu.
“Kamu tidak membantah Buyutmu?”
Tanya beliau yang kini memejamkan matanya.
“Tidak Bah, saya takut,”
jawabku.
“Tapi kamu merasa benar
kan?” dia membuka kelopak matanya lagi.
“Ya jelas Bah, lagian
saya kan cucunya Buyut, Yek Amang kan orang lain. Buyut kan Kiai, sakti, dan
banyak muridnya. Masak saya tidak dibela, malah orang lain yang dibela, gila
lagi. Sudah gila, tidak sholat, tidur di langgar, ndak pernah mandi….”
“Kamu dendam ya..?” Tanya
Abah memotong ucapanku.
Aku terdiam sejenak,
lalu kembali bersuara. “Pada Buyut tidak Bah, tapi pada Yek Amang iya.” Jawabku
tegas.
“Sudah…sudah Ri,” ucap
Abah seraya mengubah posisinya menjadi telentang dan sejurus kemudian duduk
berhadapan denganku dan menyandarkan
punggungnya ke dinding sisi barat dari ruang tamu kami.
“Ambilkan rokok dan
kopi Abah di meja”, perintahnya tanpa menoleh ke arahku sambil menjangkau asbak
dan meletakkan di depannya.
Aku segera berdiri,
memperbaiki posisi sarungku dan bergegas mengambil benda-benda sesuai yang
diperintahkan Abah.
“Duduk situ,” abah
menyuruhku duduk di depannya.
Aku
pun melakukan perintah beliau dan duduk bersila sekitar 1 meter di hadapan
beliau.Aku menantikan pembelaan abah atas nasibku yang merasa didholimi oleh
Buyut karena seseorang yang gila, Yek Amang.
Mustofa, 2008 : 31-36
Komentar
Posting Komentar