Terlihat
Abahku mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Sebelum menyulutnya, Abah
lalu meminum wedang kopi buatan Ibu yang –menurutku –kental manis dan nendang
rasa khasnya.
“Sruuup….”,
bunyi sruputan Abah pada kopinya. Lalu dia sulut rokok kretek tersebut dan
menghirup asapnya dalam-dalam.
“Crek crek crek… shshshshshshsh…. Hhhhhh…”, begitu kurang lebih bunyi khas dari gaya Abah
ketika melakukan sulutan pertama dalam aktivitas merokoknya. Kebiasaan yang
kini juga aku lakukan.
Beliau
terlihat menerawang. Pandangan beliau seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu
sambil menatap dinding sesek rumah kami. Beberapa saat lamanya kuperhatikan
Abah dengan keasyikannya merokok, dan aku hanya diam menunggu.
“Sebenarnya
Buyutmu dulu punya seorang saudara bernama Habib Mukhtar,” ujar Abah.
Informasi
yang belum pernah kuketahui sebelumnya.
“Kamu
tahu kenapa saudara Buyutmu diberi nama Habib Mukhtar?” Tanya Abah padaku.
Pertanyaan yang belum pernah diajukan. Saat itu juga aku berpikir bahwa
pertanyaan Abah tiada berhubungan sama sekali dengan apa yang barusan kami
bicarakan. Tapi hal itu tidak kupikirkan lebih jauh.
“Tidak
tahu, Bah” jawabku.
“Kamu
tahu apa artinya Habib Mukhtar?”, Abahku bertanya lagi tanpa menoleh kepadaku.
“Tidak
tahu, Bah” jawabku mulai dijangkiti rasa penasaran.
“Kamu
tahu Ri….” Ujar Abah sambil tetap tidak menoleh kepadaku. Aku mengangguk dan
berusaha mendengarkan dengan seksama. Kulihat kini wajahnya lebih serius
menerawang.
“Kamu
tahu, yang memberi nama Habib Mukhtar pada saudaranya Buyutmu bukan abahnya,
bukan ibunya, tapi seorang Habib,” abah memulai ceritanya.
Meskipun
kebenaran kabar tersebut baru kuketahui saat itu, tapi aku tidak begitu
terkejut karena memang biasanya –setauku –nama seseorang tidak harus diberikan
oleh orang tuanya. Bisa jadi dari orang lain yang dianggap memiliki kedalaman
ilmu oleh orang tua seseorang tersebut.
“Kenapa,
Bah?” tanyaku mengimbangi.
“Kamu
tahu artinya Habib Mukhtar?” Tanya Abah balik tanpa lebih dulu menjawab
pertanyaanku.
“Tidak
tahu, Bah” jawabku.
“Habib
itu bahasa Arab yang artinya kekasih, Mukhtar itu juga bahasa Arab yang artinya
terpilih.
Hanya ada beberpa keluarga Arab saja yang emmakai kata Habib untuk
menamakan keturunan mereka. Habib adalah keluarga yang memiliki garis keturunan
kepada Nabi Muhammad SAW.” Abah memberi pemahaman baru padaku.
Abah
menghadapkan wajah ke arahku dan menatap tajam kedua biji mataku. Aku pun
memperhatikan dan mulai gee r setelah
mendengar perkataan Abahku. Berarti aku ini keturunan Nabi Muhammad yang mulia,
Nabi akhir zaman, penerang semesta yang jangankan manusia, batu pun ikut
mengucapkan salam padanya ketika beliau digendong Halimatus Sa’diyah untuk
diasuh di kampong Bani Sa’ad ketika masih bayi. Aku merasa bangga.
“Berarti
saya ini keturunan Nabi Muhammad, Bah?” tanyaku berseri-seri.
“Tidak
sama sekali” jawab Abah.
Jawaban
yang mengejutkanku. “Kenapa jika aku bukan keturunan Nabi Muhammad, beliu
menceritakan itu?” batinku mempersoalkan namaku sendiri.
“Abahnya
Buyutmu seorang wara’ yang memiliki
banyak sahabat di kalangan haba’ib.
Abahnya Buyutmu sangat menghormati sahabatnya yang golongan haba’ib. Menghormati ilmu dan nasab
keluarganya yang bersambung langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka adalah
kelompok orang-orang suci yang mewarisi darah Nabi dari putri Fatimah az-Zahro
yang menikah dengan sayyidina Ali bin
Abi Tholib. Abahnya Buyutmu ingin kita sebagai keturunannya mendapat kemuliaan
hidup seperti golongan mereka baik itu hidup di dunia maupun nanti ketika di
akhirat. Buyutmu menghormati keinginan Abahnya tersebut sampai kini. Buyutmu
ingin kita dapat barokah bi al intisab dari
golongan haba’ib ini,” Abah berkata-kata dan aku mendengarkannya.
“Menurutmu
lebih mulia mana, kelompok haba’ib
yang ‘alim ini dengan ustadz dari
kalangan kita yang tidak ada sanak tidak saudara dengan Nabi Muhammad?” Tanya
Abah padaku.
“Ya
tentu saja mulia mereka, Bah, sudah alim keturunan Nabi lagi,” jawabku mantab.
“Kemuliaan
mereka tidak hanya ditentukan oleh ilmunya semata, tapi juga oleh nasabnya. Walaupun mereka tidak berilmu,
tapi mereka tetap mulia dan berpangkat tinggi di antara umat manusia karena
titisan darah dalam tubuhnya. Titisan darah yang pernah didoakan secara khusus
oleh Nabi Muhammad. Buyutmu pernah bilang pada Abah, bahwa seorang habib bagaimanapun rusak tingkah
lakunya, dia tetap seorang habib. Habib yang perilakunya rusak, maka dia
seperti al-Qur’an yang sudah rusak atau using. Apakah al-Qur’an yang rusak atau
using tulisannya dapat kamu baca?” Tanya beliau padaku.
“Ya
tidak, Bah”
“Tapi
bagaimana jika kamu injak al-Qur’an yang rusak atau using dan tidak dapat
dibaca itu?” Tanya beliau megejarku.
“Ya
ndak boleh Bah, kualat.” Jawabku mendasarkan jawaban pada pengalamanku yang
pernah menjatuhkan al-Qur’an ketika
mengaji di langgar suatu ketika. Buyut menyuruhku menciumi kitab tersebut dan
mengucap istighfar dan syahadat tiga kali.
“Begitu
pula dengan golongan haba’ib, yang
menurut orang-orang mereka itu rusak perilakunya.
Golongan ini tetap menjadi
kelompok mulia di antara manusia. Memang tidak dapat dicontoh tindakannya, tapi
jika diecehkan kita akan berdosa. Minimal berdosa bukan karena mereka haba’ib, tapi kita telah berdosa
melecehkan sesame manusia yang memiliki hak sama dengan kita, ” Abah meneruskan
pelajarannya.
“Kok
bisa begitu, Bah…” kuberanikan bertanya.
“Assalamu’alaikum…”
pintu rumah kami terbuka dan terlihat sosok ibu di pintu sambil membawa tumbu.
Tumbu adalah tempat makanan dari daun pandan atau nyiur kelapa.
Kami
pun serentak menjawa bersamaan sambil memandang sosok ibu yang telah
mengulurkan tumbu padaku tanpa menutup pintu, “Wa’alaikumsalaam…”
“Ada
apa ini, Bah, kok serius kelihatannya?” Tanya ibu pada Abah karena beliau baru
pulang menghadiri jamiyah rutin ibu-ibu di kampong dan tidak mengikuti plot
cerita dari awal. Jam dinding
menunjukkan waktu 21.10 WIB.
“Ndak
ada apa-apa, aku dan anakmu sedang ngobrol”, jawab Abah.
“Buka
Ri tumbunya, makan dengan Abahmu” perintah ibu.
“Iya
Bu,” jawabku sambil membuka tumbu.
“Ini
Bah” ujarku.
“Iya,
makanlah,” jawab Abah singkat. Aku lalu memgambil kue brubi atau nogosari yang
dibungkus daun pisang dan memakannya setelah mengucap “bismillah”.
“Apakah
kamu sekarang bernafas?” Tanya Abah melanjutkan pembicaraan.
“Iya,
Bah,” jawabku.
“Mengapa
kamu bisa bernafas?” Tanya Abah menyambung pertanyaannya.
“Karena
saya punya hidung.”
“Betul,
lalu siapa yang memberimu hidung dan mengijinkannya bernafas?”, kejarnya.
“Allah,
Bah.” Jawabku mantab karena memoriku dapat bocoran soal dari materi pelajaran
Tauhid yang diajarkan di madrasah ibtidaiyah.
“Bagus…”
jawab beliau sambil tersenyum.
“Kamu
pernah menjumpai orang yang berdosa, mabuk, judi, dan berbohong misalnya?”
Tanya Abah kemudian.
“Pernah,
Bah.” Aku menjawab pasti.
“Apakah
mereka juga bernafas?”
“Iya
jelas, Bah. Jika tidak kan mereka mati.”
“Itu
kan berarti Allah tidak hanya welas-asih
pada orang baik, sholeh, dan taat kepada Nya saja, melainkan juga welas-asih pada yang tidak taat pada Nya. Buktinya, meskipun
mereka melanggar perintahNya, mereka tetap dapat bernafas menghirup udara Allah
tanpa bayar sepeser pun,” kali ini mata Abah tajam menyorot mataku dan
tersenyum. Senyum yang bagaikan air sejuk dari telaga tenang nan indah. Aku
terkena bubuh perangkap logika dialog
Abah. Perangkap dengan umpan yang indah dan mutiara pelajaran berharga bagi
hidupku.
“Ting!!!!! Iya ya…” ada pencerahan. Untuk
kesekian kalinya, abah menghisap batang rokok di tangan, yang bara apinya
mungkin hanya berjarak sekitar 1 cm dari jempol dan telunjuknya. Abah
mempercepat tempo hisapan rokok dan mematikan batang rokok tersebut, lalu
mengambil lagi sebatang dan menyulutnya. Benar-benar seorang perokok berat.
Ibu
yang sudah berganti baju lalu menghampiri kami dan duduk di sebelah kiri Abah,
bersandar di dinding rumah.
“Kamu
tahu siapa Yek Amang?” Abah mulai menyinggung ‘musuh’ku.
“Ya…
orang gila, Bah” jawabku enteng. Ibu menoleh ke Abah, lalu menoleh kepadaku
seperti menanti jawaban.
“Hhhhhh…” Abah mendesah sambil menghisap
rokok dalam-dalam. Wajah Ibu terlihat penuh pengharapan bahwa aku tidak
menjawab dengan kata-kata tersebut. Tapi beliau tetap diam.
“Di
Jawa, terutama dalam kebiasaan hidup kita, kamu, abah, ibu, buyutmu, dan
orang-orang daerah sini, panggilan atau sapaan Yek hanya diberikan kepada mereka yang berada dalam golongan haba’ib,” kata-kata Abah seakan menghujam dadaku dan meruntuhkan
monument ananiyah kesombonganku.
Seakan tidak percaya, suara Abah menyingkap jati diri Yek Amang sesungguhnya.
“Jadi…
Yek Amang itu seorang dari golongan haba’ib
, Bah?” tanyaku tidak percaya.
“Iya”
jawab Aba yang telah memalingkan pandangannya dariku.
“Betul,
Bah?” tanyaku masih tidak percaya.
“Kamu
piker Abah bohong ya?” Abah balik bertanya sambil menoleh ke arahku.
“Sudah
Bah, biar dia tidur dulu. Sudah malam, besok kan dia sekolah. Sudah Ri, kamu
tidur dulu sana, sudah malam.” Ibu menyela pembicaraan kami.
“Iya,
Bu…, saya tidur dulu ya, Bah..” pamitku.
“Hhhmmm…,
wudhu berdoa dulu, baru tidur,” perintah Abah. Aku mengangguk dan undur diri
dari hadapan keduanya.
Sepanjang
jalan menuju kamar mandi, berwudhu, merebahkan diri, berdoa, dan berusaha
memejamkan mata, aku masih teringat kata-kata Abah.
“Jika
benar Yek Amang adalah golongan haba’ib,
berarti aku tidak hanya telah menghina seorang manusia. Tapi aku telah menghina
atau bahkan menyakiti hati seorang keturunan Nabi Muhammad. Bagaimana aku dapat
menghormati Nabi Muhammad jika aku menghina anak turunannya? Jika Yek Amang
adalah seorang habib, maka aku telah
berani lancing menghina dan menginjak-injak kemuliannya. Jika benar yang
dikatakan Abah tentangnya, maka aku seperti telah menginjak Al-Quran, kitab
suciku sendiri. Orang Islam macam apa aku ini?” deretan pertanyaan tersebut
silih berganti mengantarkanku ‘mati sementara’ dalam tidur.
Mustofa, 2008 : 36-48
Komentar
Posting Komentar