Darah Biru- part 3


Terlihat Abahku mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Sebelum menyulutnya, Abah lalu meminum wedang kopi buatan Ibu yang –menurutku –kental manis dan nendang rasa khasnya.

“Sruuup….”, bunyi sruputan Abah pada kopinya. Lalu dia sulut rokok kretek tersebut dan menghirup asapnya dalam-dalam.

“Crek crek crek… shshshshshshsh…. Hhhhhh…”, begitu kurang lebih bunyi khas dari gaya Abah ketika melakukan sulutan pertama dalam aktivitas merokoknya. Kebiasaan yang kini juga aku lakukan.

Beliau terlihat menerawang. Pandangan beliau seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu sambil menatap dinding sesek rumah kami. Beberapa saat lamanya kuperhatikan Abah dengan keasyikannya merokok, dan aku hanya diam menunggu.

“Sebenarnya Buyutmu dulu punya seorang saudara bernama Habib Mukhtar,” ujar Abah.
Informasi yang belum pernah kuketahui sebelumnya.

“Kamu tahu kenapa saudara Buyutmu diberi nama Habib Mukhtar?” Tanya Abah padaku. Pertanyaan yang belum pernah diajukan. Saat itu juga aku berpikir bahwa pertanyaan Abah tiada berhubungan  sama sekali dengan apa yang barusan kami bicarakan. Tapi hal itu tidak kupikirkan lebih jauh.

“Tidak tahu, Bah” jawabku.

“Kamu tahu apa artinya Habib Mukhtar?”, Abahku bertanya lagi tanpa menoleh kepadaku.

“Tidak tahu, Bah” jawabku mulai dijangkiti rasa penasaran.

“Kamu tahu Ri….” Ujar Abah sambil tetap tidak menoleh kepadaku. Aku mengangguk dan berusaha mendengarkan dengan seksama. Kulihat kini wajahnya lebih serius menerawang.

“Kamu tahu, yang memberi nama Habib Mukhtar pada saudaranya Buyutmu bukan abahnya, bukan ibunya, tapi seorang Habib,” abah memulai ceritanya.
Meskipun kebenaran kabar tersebut baru kuketahui saat itu, tapi aku tidak begitu terkejut karena memang biasanya –setauku –nama seseorang tidak harus diberikan oleh orang tuanya. Bisa jadi dari orang lain yang dianggap memiliki kedalaman ilmu oleh orang tua seseorang tersebut.

“Kenapa, Bah?” tanyaku mengimbangi.

“Kamu tahu artinya Habib Mukhtar?” Tanya Abah balik tanpa lebih dulu menjawab pertanyaanku.

“Tidak tahu, Bah” jawabku.

“Habib itu bahasa Arab yang artinya kekasih, Mukhtar itu juga bahasa Arab yang artinya terpilih. 
Hanya ada beberpa keluarga Arab saja yang emmakai kata Habib untuk menamakan keturunan mereka. Habib adalah keluarga yang memiliki garis keturunan kepada Nabi Muhammad SAW.” Abah memberi pemahaman baru padaku.

Abah menghadapkan wajah ke arahku dan menatap tajam kedua biji mataku. Aku pun memperhatikan dan mulai gee r setelah mendengar perkataan Abahku. Berarti aku ini keturunan Nabi Muhammad yang mulia, Nabi akhir zaman, penerang semesta yang jangankan manusia, batu pun ikut mengucapkan salam padanya ketika beliau digendong Halimatus Sa’diyah untuk diasuh di kampong Bani Sa’ad ketika masih bayi. Aku merasa bangga.

“Berarti saya ini keturunan Nabi Muhammad, Bah?” tanyaku berseri-seri.

“Tidak sama sekali” jawab Abah.
Jawaban yang mengejutkanku. “Kenapa jika aku bukan keturunan Nabi Muhammad, beliu menceritakan itu?” batinku mempersoalkan namaku sendiri.

“Abahnya Buyutmu seorang wara’ yang memiliki banyak sahabat di kalangan haba’ib. Abahnya Buyutmu sangat menghormati sahabatnya yang golongan haba’ib. Menghormati ilmu dan nasab keluarganya yang bersambung langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka adalah kelompok orang-orang suci yang mewarisi darah Nabi dari putri Fatimah az-Zahro yang menikah dengan sayyidina Ali bin Abi Tholib. Abahnya Buyutmu ingin kita sebagai keturunannya mendapat kemuliaan hidup seperti golongan mereka baik itu hidup di dunia maupun nanti ketika di akhirat. Buyutmu menghormati keinginan Abahnya tersebut sampai kini. Buyutmu ingin kita dapat barokah bi al intisab dari golongan haba’ib ini,”  Abah berkata-kata dan aku mendengarkannya.

“Menurutmu lebih mulia mana, kelompok haba’ib yang ‘alim ini dengan ustadz dari kalangan kita yang tidak ada sanak tidak saudara dengan Nabi Muhammad?” Tanya Abah padaku.

“Ya tentu saja mulia mereka, Bah, sudah alim keturunan Nabi lagi,” jawabku mantab.

“Kemuliaan mereka tidak hanya ditentukan oleh ilmunya semata, tapi juga oleh nasabnya. Walaupun mereka tidak berilmu, tapi mereka tetap mulia dan berpangkat tinggi di antara umat manusia karena titisan darah dalam tubuhnya. Titisan darah yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi Muhammad. Buyutmu pernah bilang pada Abah, bahwa seorang habib bagaimanapun rusak tingkah lakunya, dia tetap seorang habib. Habib yang perilakunya rusak, maka dia seperti al-Qur’an yang sudah rusak atau using. Apakah al-Qur’an yang rusak atau using tulisannya dapat kamu baca?” Tanya beliau padaku.

“Ya tidak, Bah”

“Tapi bagaimana jika kamu injak al-Qur’an yang rusak atau using dan tidak dapat dibaca itu?” Tanya beliau megejarku.

“Ya ndak boleh Bah, kualat.” Jawabku mendasarkan jawaban pada pengalamanku yang pernah menjatuhkan al-Qur’an  ketika mengaji di langgar suatu ketika. Buyut menyuruhku menciumi kitab tersebut dan mengucap istighfar dan syahadat tiga kali.

“Begitu pula dengan golongan haba’ib, yang menurut orang-orang mereka itu rusak perilakunya. 
Golongan ini tetap menjadi kelompok mulia di antara manusia. Memang tidak dapat dicontoh tindakannya, tapi jika diecehkan kita akan berdosa. Minimal berdosa bukan karena mereka haba’ib, tapi kita telah berdosa melecehkan sesame manusia yang memiliki hak sama dengan kita, ” Abah meneruskan pelajarannya.

“Kok bisa begitu, Bah…” kuberanikan bertanya.

“Assalamu’alaikum…” pintu rumah kami terbuka dan terlihat sosok ibu di pintu sambil membawa tumbu. Tumbu adalah tempat makanan dari daun pandan atau nyiur kelapa.
Kami pun serentak menjawa bersamaan sambil memandang sosok ibu yang telah mengulurkan tumbu padaku tanpa menutup pintu, “Wa’alaikumsalaam…”

“Ada apa ini, Bah, kok serius kelihatannya?” Tanya ibu pada Abah karena beliau baru pulang menghadiri jamiyah rutin ibu-ibu di kampong dan tidak mengikuti plot cerita dari awal. Jam dinding 
menunjukkan waktu 21.10 WIB.

“Ndak ada apa-apa, aku dan anakmu sedang ngobrol”, jawab Abah.

“Buka Ri tumbunya, makan dengan Abahmu” perintah ibu.

“Iya Bu,” jawabku sambil membuka tumbu.

“Ini Bah” ujarku.

“Iya, makanlah,” jawab Abah singkat. Aku lalu memgambil kue brubi atau nogosari yang dibungkus daun pisang dan memakannya setelah mengucap “bismillah”.

“Apakah kamu sekarang bernafas?” Tanya Abah melanjutkan pembicaraan.

“Iya, Bah,” jawabku.

“Mengapa kamu bisa bernafas?” Tanya Abah menyambung pertanyaannya.

“Karena saya punya hidung.”

“Betul, lalu siapa yang memberimu hidung dan mengijinkannya bernafas?”, kejarnya.

“Allah, Bah.” Jawabku mantab karena memoriku dapat bocoran soal dari materi pelajaran Tauhid yang diajarkan di madrasah ibtidaiyah.

“Bagus…” jawab beliau sambil tersenyum.

“Kamu pernah menjumpai orang yang berdosa, mabuk, judi, dan berbohong misalnya?” Tanya Abah kemudian.

“Pernah, Bah.” Aku menjawab pasti.

“Apakah mereka juga bernafas?”

“Iya jelas, Bah. Jika tidak kan mereka mati.”

“Itu kan berarti Allah tidak hanya welas-asih pada orang baik, sholeh, dan taat kepada Nya saja, melainkan juga welas-asih pada yang tidak taat pada Nya. Buktinya, meskipun mereka melanggar perintahNya, mereka tetap dapat bernafas menghirup udara Allah tanpa bayar sepeser pun,” kali ini mata Abah tajam menyorot mataku dan tersenyum. Senyum yang bagaikan air sejuk dari telaga tenang nan indah. Aku terkena bubuh perangkap logika dialog Abah. Perangkap dengan umpan yang indah dan mutiara pelajaran berharga bagi hidupku.

Ting!!!!! Iya ya…” ada pencerahan. Untuk kesekian kalinya, abah menghisap batang rokok di tangan, yang bara apinya mungkin hanya berjarak sekitar 1 cm dari jempol dan telunjuknya. Abah mempercepat tempo hisapan rokok dan mematikan batang rokok tersebut, lalu mengambil lagi sebatang dan menyulutnya. Benar-benar seorang perokok berat.
Ibu yang sudah berganti baju lalu menghampiri kami dan duduk di sebelah kiri Abah, bersandar di dinding rumah.

“Kamu tahu siapa Yek Amang?” Abah mulai menyinggung ‘musuh’ku.

“Ya… orang gila, Bah” jawabku enteng. Ibu menoleh ke Abah, lalu menoleh kepadaku seperti menanti jawaban.

Hhhhhh…” Abah mendesah sambil menghisap rokok dalam-dalam. Wajah Ibu terlihat penuh pengharapan bahwa aku tidak menjawab dengan kata-kata tersebut. Tapi beliau tetap diam.

“Di Jawa, terutama dalam kebiasaan hidup kita, kamu, abah, ibu, buyutmu, dan orang-orang daerah sini, panggilan atau sapaan Yek hanya diberikan kepada mereka yang berada dalam golongan haba’ib,” kata-kata  Abah seakan menghujam dadaku dan meruntuhkan monument ananiyah kesombonganku. Seakan tidak percaya, suara Abah menyingkap jati diri Yek Amang sesungguhnya.

“Jadi… Yek Amang itu seorang dari golongan haba’ib , Bah?” tanyaku tidak percaya.

“Iya” jawab Aba yang telah memalingkan pandangannya dariku.

“Betul, Bah?” tanyaku masih tidak percaya.

“Kamu piker Abah bohong ya?” Abah balik bertanya sambil menoleh ke arahku.

“Sudah Bah, biar dia tidur dulu. Sudah malam, besok kan dia sekolah. Sudah Ri, kamu tidur dulu sana, sudah malam.” Ibu menyela pembicaraan kami.

“Iya, Bu…, saya tidur dulu ya, Bah..” pamitku.

“Hhhmmm…, wudhu berdoa dulu, baru tidur,” perintah Abah. Aku mengangguk dan undur diri dari hadapan keduanya.

Sepanjang jalan menuju kamar mandi, berwudhu, merebahkan diri, berdoa, dan berusaha memejamkan mata, aku masih teringat kata-kata Abah.

“Jika benar Yek Amang adalah golongan haba’ib, berarti aku tidak hanya telah menghina seorang manusia. Tapi aku telah menghina atau bahkan menyakiti hati seorang keturunan Nabi Muhammad. Bagaimana aku dapat menghormati Nabi Muhammad jika aku menghina anak turunannya? Jika Yek Amang adalah seorang habib, maka aku telah berani lancing menghina dan menginjak-injak kemuliannya. Jika benar yang dikatakan Abah tentangnya, maka aku seperti telah menginjak Al-Quran, kitab suciku sendiri. Orang Islam macam apa aku ini?” deretan pertanyaan tersebut silih berganti mengantarkanku ‘mati sementara’ dalam tidur.



Mustofa, 2008 : 36-48

Komentar