Pagi-pagi
aku sudah terbangun karena kokok ayam di kandang yang hanya berjarak 10 meter
di depan rumahku. Jam menunjukkan pukul 04.00 WIB. Walau masih gelap, aku ambil
wudhu, dan menunaikan sholat subuh di rumah. Kulihat Ibu sudah di atas sajadahnya
sambil menggerak-gerakkan tasbihnya. Abah tidak terlihat, mungkin beliau sedang
di langgar.
Entah
mengapa, diriku bersepakat bahwa aku harus secepatnya menemui Yek Amang dan
meminta maafnya secara lebih khusus atas perlakuanku padanya. Tapi jujur saja
aku agak takut. Takut karena dia gila, jangan-jangan nanti aku dihajarnya.
Kurancang rencana. Aku akan minta tolong Abahku agar mengantarkanku ke Yek
Amang untuk minta maaf. Mungkin nanti sekitar jam 6 pagi sebelum berangkat
sekolah. Jika seandainya Yek Amang mau menghajarku kana da Abah yang
melindungiku, pikirku.
Jam
sudah menunjukkan pukul 6 pagi, tapi Abah tidak juga kelihatan di rumah. AKu
bertanya pada Ibu tentang Abah, ternyata kata Ibu, Abah ada di rumah Buyut dari
jam 1 malam tadi dan sampai saat itu belum pulang. Aku lalu pamit ke Ibu untuk
pergi ke rumah Buyut menemui Abah. Minta uang saku adalah alasanku. Ibu
mengijinkanku.
Aku
sengaja tidak masuk melalui pintu depan karena sepertinys Buyut sedang ada
tamu. Aku masuk melalui pintu belakang. Aku mengintip ke ruang tamu dari
kelambu di pintu tengah dan ternyata kuketahui Abahku di ruang tamu itu dengan
Buyut. Abah duduk menghadap utara, sedangkan Buyut beberapa meter di depannya
sedang duduk di kursi yang alas duduknya dari kulit domba. Kursi kebesaran
Buyutku ketika menemui tamu siapapun. Tanpa terduga, Abah melihatku, padahal
aku sudah berusaha menyembunyikan diri.
“Bah…
ada Qusyairi di belakang,” kata Abahku kepada Buyut.
“Iya
toh, apa ndak sekolah, suruh kesini,” titah Buyut untuk Abahku, walau aku juga
mendengarnya.
“Ri,
ayo kesini, salim pada Buyutmu dan Yek Amang.” Perintah Abah padaku tanpa
beranjak dari duduknya.
Aku
kaget karena Yek Amang juga di tempat itu, aku mengintip lagi. Terlihat Abahku
melambai ke arahku dan Buyut menoleh kepadaku. Tertangkaplah mataku oleh
tatapan pasang dua orang tersebut. Aku pun memberanikan diri melangkah sambil
tertunduk kea rah Buyut dan mencium tangannya. Selesai kucium tangannya, beliau
tidak melepaskan genggamannya tapi membimbingku untuk kea rah Yek Amang yang
duduk di sebelah barat dan menghadap ke timur. Sejurus kemudian kulihat sosok
Yek Amang.
Seketika
aku terkejut, Yek Amang yang gila, lusuh, dekil, bau, tidak pernah mandi, tidak
pernah ganti baju, hanya tidur, dan perilakunya aneh kini berubah menjadi sosok
yang tidak dapat kupercaya. Bajunya gamis putih bersih yang walaupun berjarak 3
meter dariku, sudah tercium minyak wangi jenis ja’faron yang juga biasa Buyutku pakai ketika sholat jumat. Sarungnya
hijau tua menambah kewibawaannya. Kopyah bundar putihnya melingkar menutupi
sebagian kepala dan rambutnya yang tidak lagi kumal dan terlihat hitam
mengkilap. Wajahnya bersih, teduh, dan berseri. Kedua bibirnya merekah menebar
senyuman. Senyum yang sebelumnya tidak pernah kudapatkan dari seorang Yek
Amang. Kumisnya tipis menghiasi bibir atasnya. Yek Amang yang ini tidak seperti
Yek Amang yang kukenal.
“Ta’ala ya akhiiiy…, anta min zumrotiiy…” (Kemari wahai
saudaraku, wahai keluargaku) ucapnya padaku sambil melambaikan tangan.
Aku
menoleh pada Abah dan Buyut.
Beliau
berbisik lembut ke telinga kananku, “Ayo sana kamu dipanggil Yek Amang itu lho.”
“Dia
itu Yek Amang, Yut…?” tanyaku.
Buyut
mengangguk.
Aku
lalu melangkahkan kaki ke Yek Amang, kuucapkan salam, kuraih dan kucium
tangannya. Aneh, aku seperti ingin mengatakan permintaan maafku, tapi tidak
mampu berkata-kata. Mulutku terkunci dan lidahku keluh. Selesai kucium
tangannya, dia bimbing aku untuk duduk di atas pangkuannya. Aku menurut saja. Buyut
dan Abah memandangiku dengan tersenyum di wajah masing-masing.
Yek
Amang lalu menengadahkan kedua tangannya dan berdoa. Abah dan Buyutku
mengamininya tanpa dikomando. Abah memandangku dan memberikan kode padaku agar
meniru mereka mengamini doa Yek Amang. Doa Yek Amang berbahasa Arab, dan aku
pun tidak hafal atau ingat sampai saat ini.
Selesai
berdoa, Yek Amang mengambil secangkir minuman yang kelihatan disuguhkan
untuknya dan mengarahkannya ke mulutku. Kelihatannya dia bermaksud agar aku
meminumnya. Aku menoleh ke Abah dan beliau menganggukkan wajahnya, tanda
persetujuan. Aku pun meminumnya, “Bismillaahirrohmaanirrohiim,”
“Habiskan,
Ri” perintah Buyut.
Tanpa
berkata, wedang tehnya Yek Amang pun kuhabiskan. Keikutsertaanku di majlis
tersebut tidak lama karena ibu menjemput dan mengingatkan agar aku berangkat
sekolah. Setelah berpamitan pada Abah dan Buyut, Ibu dan tentu saja Yek Amang,
aku pun berjalan ke sekolah. Tidak sarapan terlebih dahulu karena sudah sangat
terbatas waktunya.
Itulah
momen terakhir aku melihat Yek Amang, karena sampai saat ini aku tidak pernah
melihatnya lagi. Mutiara berbaju batu. Intan bersorban lumpur. Emas bersepuh
tembaga. Pewaris darah biru kenabian yang rela dan ikhlas dihinakan oleh
lingkunganku. Terimakasih Yek…
Mustofa, 2008 : 48-52
Komentar
Posting Komentar