Darah Biru -part 4



Pagi-pagi aku sudah terbangun karena kokok ayam di kandang yang hanya berjarak 10 meter di depan rumahku. Jam menunjukkan pukul 04.00 WIB. Walau masih gelap, aku ambil wudhu, dan menunaikan sholat subuh di rumah. Kulihat Ibu sudah di atas sajadahnya sambil menggerak-gerakkan tasbihnya. Abah tidak terlihat, mungkin beliau sedang di langgar.

Entah mengapa, diriku bersepakat bahwa aku harus secepatnya menemui Yek Amang dan meminta maafnya secara lebih khusus atas perlakuanku padanya. Tapi jujur saja aku agak takut. Takut karena dia gila, jangan-jangan nanti aku dihajarnya. Kurancang rencana. Aku akan minta tolong Abahku agar mengantarkanku ke Yek Amang untuk minta maaf. Mungkin nanti sekitar jam 6 pagi sebelum berangkat sekolah. Jika seandainya Yek Amang mau menghajarku kana da Abah yang melindungiku, pikirku.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi, tapi Abah tidak juga kelihatan di rumah. AKu bertanya pada Ibu tentang Abah, ternyata kata Ibu, Abah ada di rumah Buyut dari jam 1 malam tadi dan sampai saat itu belum pulang. Aku lalu pamit ke Ibu untuk pergi ke rumah Buyut menemui Abah. Minta uang saku adalah alasanku. Ibu mengijinkanku.

Aku sengaja tidak masuk melalui pintu depan karena sepertinys Buyut sedang ada tamu. Aku masuk melalui pintu belakang. Aku mengintip ke ruang tamu dari kelambu di pintu tengah dan ternyata kuketahui Abahku di ruang tamu itu dengan Buyut. Abah duduk menghadap utara, sedangkan Buyut beberapa meter di depannya sedang duduk di kursi yang alas duduknya dari kulit domba. Kursi kebesaran Buyutku ketika menemui tamu siapapun. Tanpa terduga, Abah melihatku, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan diri.

“Bah… ada Qusyairi di belakang,” kata Abahku kepada Buyut.

“Iya toh, apa ndak sekolah, suruh kesini,” titah Buyut untuk Abahku, walau aku juga mendengarnya.

“Ri, ayo kesini, salim pada Buyutmu dan Yek Amang.” Perintah Abah padaku tanpa beranjak dari duduknya.

Aku kaget karena Yek Amang juga di tempat itu, aku mengintip lagi. Terlihat Abahku melambai ke arahku dan Buyut menoleh kepadaku. Tertangkaplah mataku oleh tatapan pasang dua orang tersebut. Aku pun memberanikan diri melangkah sambil tertunduk kea rah Buyut dan mencium tangannya. Selesai kucium tangannya, beliau tidak melepaskan genggamannya tapi membimbingku untuk kea rah Yek Amang yang duduk di sebelah barat dan menghadap ke timur. Sejurus kemudian kulihat sosok Yek Amang.

Seketika aku terkejut, Yek Amang yang gila, lusuh, dekil, bau, tidak pernah mandi, tidak pernah ganti baju, hanya tidur, dan perilakunya aneh kini berubah menjadi sosok yang tidak dapat kupercaya. Bajunya gamis putih bersih yang walaupun berjarak 3 meter dariku, sudah tercium minyak wangi jenis ja’faron yang juga biasa Buyutku pakai ketika sholat jumat. Sarungnya hijau tua menambah kewibawaannya. Kopyah bundar putihnya melingkar menutupi sebagian kepala dan rambutnya yang tidak lagi kumal dan terlihat hitam mengkilap. Wajahnya bersih, teduh, dan berseri. Kedua bibirnya merekah menebar senyuman. Senyum yang sebelumnya tidak pernah kudapatkan dari seorang Yek Amang. Kumisnya tipis menghiasi bibir atasnya. Yek Amang yang ini tidak seperti Yek Amang yang kukenal.

“Ta’ala ya akhiiiy…, anta min zumrotiiy…” (Kemari wahai saudaraku, wahai keluargaku) ucapnya padaku sambil melambaikan tangan.

Aku menoleh pada Abah dan Buyut.

Beliau berbisik lembut ke telinga kananku, “Ayo sana kamu dipanggil Yek Amang itu lho.”

“Dia itu Yek Amang, Yut…?” tanyaku.

Buyut mengangguk.

Aku lalu melangkahkan kaki ke Yek Amang, kuucapkan salam, kuraih dan kucium tangannya. Aneh, aku seperti ingin mengatakan permintaan maafku, tapi tidak mampu berkata-kata. Mulutku terkunci dan lidahku keluh. Selesai kucium tangannya, dia bimbing aku untuk duduk di atas pangkuannya. Aku menurut saja. Buyut dan Abah memandangiku dengan tersenyum di wajah masing-masing.

Yek Amang lalu menengadahkan kedua tangannya dan berdoa. Abah dan Buyutku mengamininya tanpa dikomando. Abah memandangku dan memberikan kode padaku agar meniru mereka mengamini doa Yek Amang. Doa Yek Amang berbahasa Arab, dan aku pun tidak hafal atau ingat sampai saat ini.

Selesai berdoa, Yek Amang mengambil secangkir minuman yang kelihatan disuguhkan untuknya dan mengarahkannya ke mulutku. Kelihatannya dia bermaksud agar aku meminumnya. Aku menoleh ke Abah dan beliau menganggukkan wajahnya, tanda persetujuan. Aku pun meminumnya, “Bismillaahirrohmaanirrohiim,”

“Habiskan, Ri” perintah Buyut.

Tanpa berkata, wedang tehnya Yek Amang pun kuhabiskan. Keikutsertaanku di majlis tersebut tidak lama karena ibu menjemput dan mengingatkan agar aku berangkat sekolah. Setelah berpamitan pada Abah dan Buyut, Ibu dan tentu saja Yek Amang, aku pun berjalan ke sekolah. Tidak sarapan terlebih dahulu karena sudah sangat terbatas waktunya.

Itulah momen terakhir aku melihat Yek Amang, karena sampai saat ini aku tidak pernah melihatnya lagi. Mutiara berbaju batu. Intan bersorban lumpur. Emas bersepuh tembaga. Pewaris darah biru kenabian yang rela dan ikhlas dihinakan oleh lingkunganku. Terimakasih Yek…



Mustofa, 2008 : 48-52

Komentar