Bainal Kafi wan Nun- part 1


Ini bukan karya gue, cuma mau berbagi aja. Sebenernya mulai nulis ini sejak dua bulan yg lalu, tapi karena faktor kemalasan dan baru galau lagi sekarang sibuk, jadi baru sempet gue selesein hari ini.
Sebuah karya bang Chabib Mustofa, ringan, tapi ngena banget.

"Aku telah tertipu dengan pandangan mata dan kepandiran hatiku memahami realita. Kuanggap yang terlihat putih, pasti 'putih'. Kuklaim yang buruk rupa pasti buruk hati. Tidak kupahami rahasia Tuhan ketika Dia ciptakan perbendaharaan dunia antara dua huruf  'kaf' dan 'nun'. Kulewatkan rahasia huruf 'lam' dan 'mim' yang masih tetap menjadi misteri bagi kebodohan imanku."

Penghujung bulan Ramadhan tahun itu, aku banyak bergaul dengan pemuda desa. Kerap kali kami bertemu ketika malam hari setelah melaksanakan shalat isya’, tarawih, dan witir di tempat kami masing-masing. Sering pula kami sengaja bertemu sebelum pelaksanaan shalat yang hanya dapat dijumpai dalam bulan Ramadhan tersebut. Dalam perjumpaan itu, kami pun banyak membicarakan hal-hal yang berkait dengan diri kami masing-masing. Tentang kuliah, kerja, masa depan, pesantren, pacar, atau yang diklaim sebagai ‘pacar’, bahkan juga berbicara tentang keluarga kami masing-masing.

Waktu itu kami sedang berkumpul di ruang dewan asatidz (bentuk jamak dari ustadz). Ada Gus Udin, Gemboek, Hagaing, Po, dan aku. Adzan telah berkumandang dari loud speaker masjid yang terletak sekitar 30 meter dari lokasi kami duduk-duduk. Para santri pun telah bersiap melaksanakan shalat Isya’ dan tarawih secara berjamaah. Seperti sengaja, Gus Udin membiarkan kami terus mengobrol, padahal saat itu semua manusia –kecuali kami –di pesantren telah bersiap melaksanakan sholat Isya’ dan tarawih.

Tiba-tiba Po nyeletuk, “Ayo kita ke Ampel yo… mumpung sekarang ini malam duapuluhtujuh,” suaranya keluar dari mulutnya yang mungil.

“Memangnya kenapa jika sekarang malam duapuluh tujuh Ramadhan, Po?” Tanya Hagaing tidak begitu respon atas usulan Po.

“Yaa, kita cari pahala laaah, masak buat dosa terus,” jawab Po.

“Kalau mau pahala, tuh pijati kakiku saja, kamu pasti banyak pahala, sekalian kudoakan masuk sorga nanti.” Suara Hagaing menimbulkan Po agak kecewa. Tapi justru karena itulah tawa kami meledak.

“Atau itu Po, bak mandinya anak-anak santri masih kotor tuh. Hitung-hitung ngalab berkahnya orang yang sedang menuntut ilmu, tolong dibersihkan dong bila ingin pahala,” Gus Udin menimpali.

Tawa kami kembali meledak, sedangkan Po memaksa ikut tertawa, padahal dirinyalah yang sedang dijadikan target penertawaan.

“Lha ya, wong mau cari pahala kok ke Ampel, cari pahala ya ibadah. Sholat sana yang rajin!” Gemboek menimpali dengan agak sewot. Yang disindir sekali lagi, hanya berusaha tersenyum.

Dalam hati harus kuakui bahwa teman-temanku ini sungguh luar biasa. Luar biasa karena mampu melakukan kritik pada doktrin normatif-teologis yang selama ini hidup berkembang di sekeliling mereka dengan bahasa yang lugas.

“Kamu jangan banyak-banyak pahala, Po, nanti jika kebanyakan pahala, kamu nanti menjadi orang yang paling banyak pahala lho. Ndak enak…”, Gus Udin kelihatan meneruskan candanya. Di tangannya sudah siap sebatang rokok yang siap disulut.

“Gak enak bagaimana?!?!?!” protes Po dengan sedikit mengernyitkan keningnya.
Tak diminta, Hagaing menimpali pertanyaan Po.

“Yaa kalau kamu jadi manusia yang paling banyak pahala, sedang yang lain hanya sedikit atau tidak punya pahala sama sekali, nanti kamu masuk surge sendirian lho. Apa enak di surga sendirian?” Hagaing seperti melakukan “skak mat” pada Po.

“Iya, apa enak kalau sendirian di sana. Nabi Adam saja kepingin teman kok. Padahal dia nabi, masih saja ada protesnya pada Tuhan. Apalagi kamu.” Gemboek menambahkan kelakar itu.

Aku hanya tersenyum melihat mereka. Inilah yang terkadang kusuka dari mereka.
Seakan tidak mau kalah, Po tetap berkomentar, “Kan enak sendirian, bisa monopoli.”
Kami hanya menimpalinya dengan tertawa.

“Ayo ke Ampel, kita shalat Isya’ dan tarawih disana, lalu ke makam Mbah Ampel,” ujarku.

“Sudah jam segini, Cak” sahut Gemboek.

“Memangnya kenapa?” tanyaku.

“Wong kita ini telpon atau SMS pacar saja tidak pernah kenal waktu. Ayo!” aku sedikit berlagak agak serius.

“Ayooo!! Jadi nggak ke Ampel?” Tanya Po.

“Ayo-ayo Mboek, ayo Gaing!” Gus Udin beranjak berdiri dan mengambil kontak mobilnya.

Kami berlima pun keluar ruang dewan asatidz pesantren dan berjalan beriringan menuju sebuah mobil berwarna biru.

“Nanti jangan lupa ngajinya setelah tarawih, saya ke Ampel dulu.” Titah Gus Udin pada salah seorang santrinya yang kebetulan berpapasan dengan kami.

Mobil yang kami tumpangi melaju melewati jalan-jalan di dalam kota Surabaya. Gus Udin menyopiri mobilnya, Po duduk di sampingnya, sedang aku, Hagaing, dan Gemboek duduk di kursi tengah. Hatiku mulai kutata dengan niat “sowan” ke sunan Ampel.

Sengaja mobil yang mengantarkan kami berlima diparkir di sebelah barat komplek, di depan sebuah rumah sakit Islam swasta untuk menghindari kemacetan. Keluar dari mobil, kami memasuki lorong-lorong rumah warga sekitar Ampel dan memotong jalan sampai “lawang agung” sebelah selatan.
Jalan kami meringgit karena sesaknya pengunjung dengan berbagai macam niat dan tujuannya. Arus keluar-masuk peziarah komplek makam silih berganti.

Sholat tarawih masih berlangsung ketika kami tiba di komplek makam tersebut. Terlihat beberapa peziarah yang sedang antre megambil air wudhu, ada juga yang berusaha khusyu’ mengikuti sholat tarawih berjamaah, ada juga yang terlihat sedang menawarkan barang pada kios-kios di sepanjang jalan. Tampilan wajah perilaku berbeda-beda. Tapi satu hal yang dulu pernah dipesankan Abahku selalu kuingat : Jangan pernah sekali-kali mengambil kesimpulan tentang sesuatu dari wujud luarnya saja.

Kami berlima langsung mengambil air wudhu dan menyucikan diri. Sejurus kemudian kami nimbrung di baris shof  jamaah sholat, namun kami membuat jamaah sendiri karena kami belum menunaikan sholat isya’. Kami lalu menepuk pundak Gus Udin untuk menjadi imam.

“Singkat, padat, dan tepat sasaran Gus,” celetuk Hagaing, seakan memberi instruksi pada Gus Udin untuk tidak berlama-lama dalam melaksanakan sholat. Seakan memahami hidden text dari suara Hagaing, Gus Udin mengerlingkan mata kirinya sambil menoleh kami.

“Allaaahu akbar,” suara takbirnya terdengar sebagai tanda sholat isya’ berjamaah telah dimulai. Kami pun mengikutinya setelah menancapkan niat di hati kami masing-masing.

“Allaaahu akbar” suara takbir kami tidak sekeras suara  Gus Udin.

Tidak terduga, datang beberapa orang lain yang ikut berjamaah dengan kami. Semakin lama semakin banyak. Selepas mulutku mengucapkan “Assalamu ‘alaikum warahmatullaaah…,” sebagai tanda berakhirnya sholat, kulihat ada sekitar 50-an jamaah yang ikut sholatnya Gus Udin. Dengan kuantitas peziarah yang sedemikian banyak, dan dari berbagai daerah, hal tersebut bukanlah sesuatu yang luar biasa.

Setelah berdoa, kami lalu mengikuti sholat tarawih dan witir tiga rakaat dengan dua kali salam. Kemudian bacaan doa khas yang –umumnya –hanya dibaca pada bulan Ramadhan dikumandangkan dan terdengar mengalun hikmat dari pengeras suara di masjid. Dengan usainya bacaan tersebut, maka rangkaian sholat isya’ dan tarawih telah kami lakukan.

“Bagaimana Cak, apa kita langsung ke makam?” Tanya Gus Udin kepadaku.

“Iyalah mumpung belum begitu ramai. Nanti semakin malam semakin ramai,” aku menjawab sambil membetulkan letak kopyah putihku.

Memang pada malam-malam bulan Ramadhan, keramaian peziarah di lokasi Masjid Agung Sunan Ampel melebihi hari-hari lainnya. Apalagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

“Nanti setelah dari makam, kita ngopi di situ, tempat biasa,” aku menoleh ke satu pojok tempat di lorong kios yang memang biasanya menjadi tempat kami ngopi ketika berziarah.

“Beres, Caaak,” seakan-akan sudah tahu akan maksudku, mereka serempak menjawab.

Kami pun keluar dari lokasi masjid dan menuju makam untuk berdoa di sana. Jam di dinding masjid menunjukkan saat itu pukul 21.15 WIB.

Kami berjalan beriringan. Hagaing dan Gemboek sengaja kami mandatkan untuk berjalan di depan, sedang aku, Gus Udin, dan Po berjalan di belakangnya. Tujuannya jelas, agar dapat membuka arus peziarah yang sesak tersebut dengan badan mereka yang “berbobot”.

Dengan berusaha bersabar, rombongan kecil kami berhasil memasuki lokasi pemakaman setelah melewati gapura ketiga yang menghubungkan halaman makam dengan lokasi pemakaman Sunan Ampel. Badan terasa sudah berkeringat akibat desakan selama perjalanan.

“Di sana, Gus,” aku berkata sambil menggerakkan kepalaku ke sebuah ruang kosong di sisi pojok pemakaman. Dengan berkali-kali mengucapkan permisi pada peziarah yang telah duduk dan berdzikir, kami berusaha menuju tempat kami tuju. Sampailah kami di tempat tersebut.
Kami duduk saling merapat menghadap ke timur dan berusaha mengutuhkan kelompok kami. Untuk keselarasan bacaan, kami minta Gus Udin memimpin agenda ziarah tersebut. Dia mulai membaca washilah kepada beberapa orang yang kami yakini memiliki derajat yang sangat dekat dengan Tuhan. Kami berusaha khusyu’ mengikutinya dan berusaha menghalau hegemoni suara-suara peziarah lain dalam system konsentrasi diri kami. Kepala kami agak sedikit tertunduk.

“Bismillaaahirrohmaanirrohiim, Yaasiiiin… walqur’anul hakiiim… innaka laminal mursaliin…” terdengar suara Gus Udin mulai membaca Surat Yasin. Kami pun juga mulai membaca surat itu mengiringi Gus Udin.

“Duk!!!” lutut kananku terdepak kaki seorang peziarah yang kebetulan lewat di sampingku.

Aku tidak berusaha menggubrisnya. Bahkan aku sama sekali tidak melihat sosok utuh dari pendepak tadi. Yang kulihat hanya kaki kain sarung putih yang sudah using dan tidak licin lagi helai kainnya. Batas ujung kainnya hanya beberapa jari di bawah lutut. Mungkin sudah terlalu sering dipakai olehnya. Kakinya sepintas terlihat hitam dan tidak bersandal. Bau tak sedap –mungkin –keluar dari kaki dan sarung tersebut. Kulihat kaki itu berjalan kea rah depanku. Aku hanya focus dan mendalami dari apa yang kubaca.

“Duk!!!!” lutut kananku kembali terdepak dari belakang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Walau tidak seberapa sakit, aku agak kaget juga. Tapi aku tetap berusaha tidak menghiraukannya. Kulihat kaki dan sarung yang mirip dengan pendepak pertama tadi.

“Mungkin orang ini bingung untuk memilih tempat yang ingin ditujunya,” pikirku.
Aku berusaha tidak mempedulikannya.

“Fasubhaanalladzi biyadihii malakuutu kulli syai’iiwwailaihi turja’uun…” ayat ke-83 dari Surat Yasin telah selesai kubaca. Berdasarkan kebiasaan saat berziarah, kami mulai bersiap membaca surat al ikhlas, al Muawwidzatain, al Fatihah, ayat kursi. Namun tiba-tiba…

“Duk!!!!!” lutut kananku kembali tersepak oleh sesuatu yang kualitas sepakannya melebihi dua sepakan sebelumnya. Aku kaget sambil agak meringis kesakitan. Kulihat sarung dan bentuk kaki yang sama dengan dua pendepak sebelumnya.

Aku agak emosi.

Kudongakkan kepala. Kutangkap sosok pria tua dengan pakaian putih yang juga sudah kekuning-kuningan. Kuning yang bukan motif, namun karena usang. Dua kancing terbawah tidak dimasukkan pada lubangnya, jadi terlihatlah ikatan sarung yang dikuatkan dengan ikatan sabuk lebar berwarna hijau. Kelihatan pula –walau remang- remang –kulit perutnya yang keriput. Postur tubuhnya kelihatan lebih pendek dariku, mungkin sama dengan tinggi badan Po. Wajahnya hitam terbingkai dengan kulit keriput di ruas-ruas sisinya. Kutatap dia dengan sorot mata setajam-tajamnya. Dua alisku seperti berharap akan bersambung. Kepalaku geleng-geleng sambil berdesis menahan amarah kepadanya.

“Shhhhhhhh… ck ck ck ck ck” begitulah kira-kira dengan apa yang kulakukan.

Dia malah tersenyum dengan citra agak mendikte kemarahan yang kutunjukkan. Sungguh. Aku bertambah marah sebenarnya dengan apa yang dia perbuat kepadaku. Tapi syukurlah, lokasi dan situasi menyebabkan aku tidak melakukan yang selebihnya dari kemarahan itu.

Akhirnya, Gus Udin menggiring kami untuk membacakan surat al Fatihah beberapa kali lagi sebagai washilah pada beberapa kekasih Tuhan, khususnya sunan Ampel yang sedang kami sowani. Aku pun didapuk untuk memimpin doa sebagai penutup rangkaian dzikir kolektif yang telah kami lakukan. Tidak ada alas an karena kesalehan tertentu, sehingga aku diminta mereka berempat berdoa. Hanya pertimbangan umur yang beberapa tahun lebih tua saja permintaan itu dialamatkan padaku. Untuk keadilan peran, okelah.

Kami usapkan dua tapak tangan pada wajah kami masing-masing sebagai tanda bahwa doa yang kami panjatkan telah menemui muara perjalanannya. Walaupun ziarah kolektif telah usai, namun ziarah individual belumlah usai. Masing-masing diri kami berdzikir dengan bacaan berdasarkan pilihan dan kecenderungan kami masing-masing.

Satu persatu dari kami berlima beranjak dari lokasi kami berdzikir. Aku menjadi orang ketiga yang beranjak setalah Po dan Gemboek. Kulihat Gus Udin dan Hagaing masih asyik dengan bacaan dzikirnya.

“Puk,”, kutepuk bahu Gus Udin dan berbisik dengan mendekatkan mulutku ke telinganya. “Saya tunggu di tempat ngopi, Gus,” dia pun mengangguk tanpa menoleh padaku. Sepintas Hagaing juga kulihat menyimak bisikanku pada Gus Udin. Aku pun beranjak pergi dari tempat itu.

Bersambung ke part 2

Komentar