Mari Beropini : Pro Kontra Penerapan Omnibus Law

Haiiiii!! setelah sekian purnama akhirnya nge-blog juga dengan topik yg agak berat dikit WKWK. langsung aja deh


Image result for omnibus law pajak
Omnibus Law. Sudah tidak asing lagi dua kata ini lantaran sedang menjadi perbincangan hangat di jajaran pemerintahan. Hingga siang tadi platform sosial media instagram Direktorat Jenderal Pajak (@ditjenpajakri) mengeluarkan postingan terkait RUU Omnibus Law Perpajakan.
Secara harfiah, kata omnibus berasal dari bahasa Latin omnis yang berarti banyak. Jika dikontekskan dengan UU maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum ke-dalam satu UU payung. (https://business-law.binus.ac.id/2019/10/03/memahami-gagasan-omnibus-law/).
Sebenarnya penerapan Omnibus Law di Indonesia disasarkan pada bidang perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Pada kali ini aku bakalan membatasi ruang lingkup pembahasan Omnibus Law dibidang perpajakan aja ya.

Langsung aja, jadi berdasarkan tulisan-tulisan yang aku baca, latar belakang pertama kali adanya Omnibus Law (kalo di matkul Hukbis temen-temen masih ingat istilah proximate cause (prinsip asuransi) masih ingat? dah lupa? ah dahlah lupain aja WKWK) atau proximate cause dari Omnibus Law ini adalah semakin menurunnya investasi. Penurunan investasi ini diklaim karena aturan yang rumit dan saling tumpang tindih sehingga mempersulit pada perijinan yang berujung pada menurunnya minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Nah, Omnibus Law diharapkan dapat menjadi "UU sapu jagat" yang mengatasi saling tindihnya peraturan-peraturan tadi (news.detik.com). Penerapan Omnibus Law diharapkan dapat meningkatkan investasi dan mengatasi perlambatan ekonomi global. Oiya menurut kemenkeu.go.id, Omnibus Law ini juga diharapkan dapat mengatasi middle income trap dan stagnasi di Indonesia.

Wah apaan tuh middle income trap? Middle income trap adalah suatu keadaan ketika sebuah negara sudah berhasil mencapai pendapatan menengah, tapi tidak mampu keluar untuk mencapai pendapatan yang lebih tinggi menjadi negara maju. Hm... istilahnya sih "zona nyaman" gitu ya. Menurutku middle income trap ini nggak hanya berlaku buat negara sih, tapi buat kita juga. Nanti kalo udah lulus terus dapat gaji yang udah bisa dikategorikan middle income,  biasanya kita ini (tapi jangan ya) udah malas buat belajar lagi, malas sekolah lagi, dan malas cari beasiswa lagi dikarenakan sudah terjebak zona nyaman.

Terdapat beberapa poin dalam RUU Omnibus Law Perpajakan yang sedang dibahas diDPR, yaitu :
1. Penurunan tarif PPh badan dan PPh bunga
2. Penghapusan PPh atas dividen dan Penghasilan tertentu dari luar negeri, sepanjang diinvestasikan di Indonesia
3. Membedakan WNA dan Warga Negara Indonesia (WNI). Orang Indonesia yang tinggal di luar negeri 183 hari, mereka bisa berubah menjadi subjek pajak luar negeri, jadi tidak membayar pajaknya di Indonesia. Untuk orang asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, mereka menjadi subjek pajak di dalam negeri dan membayar pajaknya di Indonesia dari penghasilannya yang berasal dari Indonesia. (sebenernya aku agak kurang ngerti sih ini bedanya apa sama yang sebelumnya 😓)
4. Penyesuaian sanksi administratif dan imbalan bunga perpajakan yang mengacu pada suku bunga pasar.
5. Pemajakan transaksi elektronik yang dibuat sama dengan pajak biasa. Ini termasuk penunjukan platform digital untuk pemungutan PPN dan mereka yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia akan tetap bisa dipungut pajaknya.
6. Pemberian insentif-insentif pajak seperti tax holiday, super deduction, tax allowance, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), PPh untuk surat berharga, dan insentif pajak daerah dari Pemda. (https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-6-cluster-omnibus-law-perpajakan-yang-dibahas-dalam-prolegnas/)

Oke lanjut, nah dari tadi kok pro terus sih hehe..

Nah, disisi lain ada pendapat kontra terkait dengan penerapan Omnibus Law Perpajakan. Kembali ke tujuan awal diterapkannya Omnibus Law yaitu mendorong investasi sehingga mengatasi perlambatan ekonomi global di Indonesia. Sebenarnya ada cara lain untuk mengatasi hal tersebut selain pemberian insentif pajak. Menurut Mardiasmo (2009) berikut adalah faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam investasi :
1. Tingkat diskonto yang digunakan
2. Tingkat inflasi
3. Risiko dan ketikdakpastian
4. Capital rationing : keadaan ketika organisasi menghadapi masalah ketersediaan dana untuk melakukan investasi
Dari ke-4 faktor yang paling berpengaruh diatas, tidak ada pajak didalamnya. Sampai sini muncul pertanyaan, apakah Omnibus Law Perpajakan (dimana lebih banyak memberikan insentif) akan mengatasi permasalahan investasi ?




Komentar